KPK Dorong Pemerintah Perbaiki Tata Niaga Minerba

Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA
Fungsional Direktorat Litbang Kedeputian Pencegahan KPK Rizky Nugraha dalam diksusi dengan tema “Lubang-Lubang Bisnis Batubara Bagi Penerimaa Negara” yang di gelar oleh Katadata.co.id dan Perkumpulan Prakarsa di Mezzanine Ballroom, Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat (28/2).
Editor: Sorta Tobing
28/2/2019, 21.18 WIB

Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) mendorong berbagai lembaga pemerintah menyamakan data terkait dengan kegiatan penjualan di dalam maupun luar negeri untuk sektor mineral dan batu bara (minerba). Perbedaan tersebut sangat mempengaruhi penerimaan negara.

Tenaga Fungsional Direktorat Penelitian dan Pengembangan Kedeputian Pencegahan KPK Rizky Nugraha mencotohkan, data produksi batu bara pada 2015 berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS) sebesar 405,9 juta ton. Angka ini berbeda dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebesar 461 juta ton.

Kemudian pada 2016, data ekspor batu bara yang dikeluarkan oleh BPS dan Kementerian Perdagangan (Kemendag) sebesar 368,9 juta ton, angka ini lebih tinggi daripada data dari Kementerian ESDM yakni sebesar 331 juta ton. Volume dan kualitas minerba tidak terhitung secara akurat.

"Padahal volume dan kualitas menjadi dasar untuk perhitungan kewajiban royalti," kata dia dalam acara "Lubang-Lubang Bisnis Batubara bagi Penerimaan Negara" di Hotel Aryaduta, Jakarta, Kamis (28/2). Acara tersebut merupakan kerja sama antara Katadata.co.id dan Perkumpulan Prakarsa.

(Baca: Emas Hitam Mahakam dalam Bidikan KPK)

Berdasarkan data Indonesia Corruption Watch (ICW), pada periode 2006-2016 nilai transaksi perdagangan ekspor batu bara yang dilaporkan secara tidak wajar mencapai US$ 27,1 miliar atau sekitar Rp 381,8 triliun.

KPK menemukan enam penyebab hal tersebut terjadi. Pertama, pemerintah tidak melakukan pengecekan ulang terhadap volume dan kualitas minerba. Kedua, minimnya pengawasan proses pengapalan dan pengangkutan. Ketiga, adanya konflik kepentingan dalam pelaksanaan tugas surveyor.

Keempat, tidak ada akses sistem pelaporan surveyor dan Direktorat Jenderal Minerba. Kelima, sebaran ekspor mineral dan batu bara di berbagai titik pelabuhan. Terakhir, perbedaan peraturan Kementerian Perdagangan terkait tata niaga minerba.

Oleh karena itu, KPK mendorong Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mengoptimalkan peran Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minerba (TekMIRA) sebagai pembanding laporan surveyor. Koordinasi lintas sektor kementerian pun harus diperkuat. Lalu, pemerintah perlu merevisi aturan tata niaga minerba, termasuk penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebelum pengapalan dan pengaturan eksportir terbatas.

"Kami mencoba mendorong berbagai lembaga untuk duduk bersama supaya ada one map one policy," katanya.