DBS: Jokowi Fokus Infrastruktur, Prabowo Usung Kebijakan Populis

Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA
Capres nomor urut 01 Joko Widodo (kiri) dan Capres nomor urut 02 Prabowo Subianto (kanan) bersiap memulai debat capres 2019 disaksikan Ketua KPU Arief Budiman (tengah) di Hotel Sultan, Jakarta, Minggu (17/2/2019). Debat itu mengangkat tema energi dan pangan, sumber daya alam dan lingkungan hidup, serta infrastruktur.
Penulis: Hari Widowati
21/2/2019, 14.37 WIB

Calon presiden nomor urut 01 Joko Widodo (Jokowi) dan nomor urut 02 Prabowo Subianto dalam Debat Capres putaran kedua menunjukkan fokus yang berbeda terkait tema debat di bidang energi, pangan, sumber daya alam, infrastruktur, dan lingkungan. Jokowi fokus pada pembangunan infrastruktur untuk meningkatkan konektivitas dan daya saing sedangkan Prabowo menawarkan kebijakan populis di bidang pangan dan energi.

Ekonom DBS Research Group Masyita Crystallin mengatakan, dalam pembahasan mengenai infrastruktur, Jokowi menekankan pembangunan infrastruktur akan tetap menjadi prioritasnya untuk menurunkan biaya logistik dan meningkatkan konektivitas antarpulau. Prioritas lainnya adalah pembangunan teknologi informasi dengan jaringan Palapa Ring yang akan menghubungkan 17.504 pulau dengan internet berkecepatan tinggi.

Prabowo tidak menyebutkan rencana spesifiknya di bidang infrastruktur. Namun, ia menilai pembangunan infrastruktur harus melibatkan rakyat. Ketua Umum Partai Gerindra ini juga mengkritik proyek-proyek infrastruktur yang tidak efisien, yang dianggapnya dibangun tanpa feasibility study dan tergesa-gesa.

DBS menilai, upaya pemerintah mendorong pembangunan infrastruktur dan memperbaiki daya saing di dunia bisnis mulai menunjukkan hasilnya. Menurut laporan Ease of Doing Business 2019, peringkat Indonesia naik ke posisi 73 dari posisi 120 pada 2014. Indeks di sektor logistik juga membaik menjadi 3,15 pada 2018 dari 3,08 pada 2014.

"Pembangunan infrastruktur perlu waktu untuk berdampak penuh terhadap pembangunan ekonomi tetapi upaya-upaya untuk mendorongnya sangat layak dilakukan," kata Masyita dalam risetnya, Rabu (20/2).

Pembangunan infrastruktur di luar Jawa tidak hanya memperbaiki kesenjangan antara Jawa dan luar Jawa. Hal tersebut juga memperbaiki konektivitas dan menciptakan kawasan urban atau industrial baru yang bisa menjadi titik-titik pertumbuhan baru.

Stabilitas Harga Pangan

Di bidang pangan, kedua kandidat ingin memastikan harga pangan yang terjangkau dan stabil. Prabowo menggunakan kebijakan nasionalis tanpa impor untuk mendukung para petani dan nelayan. Ia juga berjanji akan meneruskan subsidi pupuk bagi petani.

Di sisi lain, Jokowi mengatakan, untuk mendukung harga di tingkat petani, para petani harus memiliki akses langsung ke pasar termasuk melalui online market place. Mantan Gubernur DKI Jakarta ini juga menyebutkan akses terhadap pendanaan bagi petani melalui peer to peer lending.

Jokowi menilai kebijakan impor pangan dibutuhkan untuk menjaga stabilitas harga dan mengantisipasi gagal panen atau kekeringan. DBS menyebut harga beras di Indonesia sempat meningkat signifikan pada 2014-2016 karena gagal panen yang dipicu kekeringan (El Nino).

Di sisi lain, kebijakan untuk melindungi petani dari beras impor seperti disampaikan Prabowo belum tentu berhasil. "Menurut studi Bank Dunia pada 2015, lebih dari 25% petani padi adalah konsumen bersih (net consumer) beras. Sedangkan lebih dari 65% petani lainnya juga konsumen bersih beras," kata Masyita.

Bahkan, beras berkontribusi terhadap 25% dari konsumsi rumah tangga miskin. Alhasil, proteksi terhadap beras impor bisa menekan para petani dan rumah tangga miskin jika stabilitas harga terganggu.

(Baca: Berdasarkan Ketentuan FAO, Indonesia Sudah Swasembada Beras)

Kurangi Ketergantungan pada Energi Fosil

Di bidang energi, kedua capres berjanji meningkatkan penggunaan biodiesel untuk mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil. Prabowo akan mengupayakan swasembada energi untuk mengurangi impor bahan bakar minyak (BBM). Adapun Jokowi telah menjalankan inisiatif B20 yang secara bertahap akan ditingkatkan menjadi B100.

Masyita mengatakan, selama periode pertama pemerintahannya, petahana menargetkan untuk meningkatkan bauran energi baru dan terbarukan (EBT) menjadi 23% pada 2025. Namun, ada beberapa tantangan yang dihadapi.

Menurut International Institute for Sustainable Development (IISD), plafon harga sebesar 85% dari rata-rata biaya pokok penyediaan (BPP) dinilai terlalu rendah dan tidak menguntungkan bagi EBT. Selain itu, kebijakan yang berubah-ubah berdampak negatif terhadap kepercayaan investor.

PLN sebagai pemasok bahan bakar untuk pembangkit listrik tenaga disel juga bisa kehilangan pendapatannya ketika pembangkit tersebut digantikan dengan pembangkit EBT. Terakhir, EBT nonsubsidi harus berkompetisi dengan listrik yang dihasilkan oleh Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PTLU) batu bara yang lebih murah.

Sementara itu, Prabowo berjanji memangkas tarif listrik dan harga BBM. Hal ini berlawanan dengan reformasi subsidi BBM yang dilakukan petahana. Sejauh ini, Prabowo belum menjelaskan detail skema usulannya. Adapun pemerintah saat ini masih mensubsidi listrik untuk rumah tangga miskin pengguna daya 450 VA dan sekitar 4 juta pelanggan rumah tangga dengan daya 900 VA.

Lebih lanjut, Masyita menyebut konsumsi listrik per kapita di Indonesia sebesar 811,9 kWh masih rendah dibandingkan dengan negara-negara tetangga, seperti Malaysia sebesar 4.596,33 kWh dan Thailand 2.539,01 kWh. "Menurut kami, selain menyeimbangkan bauran energi menuju EBT, siapapun pemenang Pilpres nanti perlu meningkatkan konsumsi listrik per kapita," ujarnya.

(Baca: Program B100, Pengusaha Minta Dukungan Peningkatan Produktivitas Sawit)