Penempatan TNI di Kementerian dan Lembaga Berpotensi Maladministrasi

ANTARA FOTO/PUSPA PERWITASARI
Rencana Presiden Joko Widodo menempatkan perwira aktif TNI dalam tugas-tugas kementerian dan lembaga berpotensi menimbulkan maladministrasi.
Penulis: Dimas Jarot Bayu
21/2/2019, 13.25 WIB

Ombudsman menilai wacana penempatan perwira aktif Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam tugas-tugas kementerian dan lembaga berpotensi menimbulkan maladministrasi. Wacana tersebut dapat menabrak berbagai aturan terkait TNI dan rekrutmen Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Komisioner Ombudsman Ninik Rahayu mengatakan, salah satu aturan yang akan ditabrak yakni Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Dalam Pasal 39 UU Nomor 34 Tahun 2004 dijelaskan, prajurit TNI dilarang terlibat dalam kegiatan menjadi anggota partai politik, politik praktis, bisnis, serta dipilih menjadi anggota legislatif dan jabatan politis lainnya.

Dalam Pasal 47 UU Nomor 34 Tahun 2004 ayat (1) dijelaskan bahwa prajurit TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan. Ayat (2) pasal tersebut menjelaskan, prajurit aktif dapat menduduki jabatan pada kantor yang membidangi koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, dan Intelijen Negara.

Kemudian, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Badan Narkotika Nasional (BNN), dan Mahkamah Agung (MA). Dengan demikian, Ninik menilai perwira aktif TNI tidak bisa ditempatkan selain pada posisi yang telah disediakan melalui UU Nomor 34 Tahun 2004.

"Di situ sangat jelas, bagi TNI yang akan melakukan penempatan jabatan di sektor tertentu di jabatan sipil maka dia harus mundur dari jabatannya," kata Ninik di kantornya, Jakarta, Kamis (21/2).

(Baca: Restrukturisasi, Jokowi Sebut Ada 60 Jabatan Baru di TNI)

Mengikuti Fit and Proper Test

Lebih lanjut, Ninik menyebut Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS juga menutup rapat pintu bagi perwira aktif TNI untuk menduduki jabatan di kementerian/lembaga. Aturan itu menjelaskan bahwa perwira TNI harus mundur terlebih dulu dari jabatannya jika ingin menjadi PNS.

Mereka pun harus terlebih dahulu mengikuti mekanisme rekrutmen yang telah ditetapkan untuk menjadi PNS. "Kalau dia ikut (seleksi PNS), ada fit and proper test. Kalau fit and proper test-nya dia enggak berhasil, dia enggak bisa kembali ke TNI," kata Ninik.

Jika pemerintah berkukuh melibatkan perwira aktif TNI di kementerian/lembaga, Ombudsman menilai hal tersebut memerlukan persetujuan dari DPR. Pertimbangan ini berdasarkan Pasal 5 UU Nomor 34 Tahun 2004.

Pasal tersebut menjelaskan, TNI berperan sebagai alat negara di bidang pertahanan yang dalam menjalan tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara. "Kebijakan dan keputusan politik itu harus diambil bersama antara pemerintah dan DPR," kata Ninik.

Oleh karena itu, Ninik berharap peringatan dini dari Ombudsman ini dapat menjadi pertimbangan bagi pemerintah untuk kembali meninjau wacana penempatan perwira aktif TNI di kementerian/lembaga. Alhasil, potensi maladministrasi yang ada dapat dihindari ke depannya.

(Baca: Jokowi Restrukturisasi TNI, Moeldoko: Bukan untuk Kembalikan Dwifungsi)

Reporter: Dimas Jarot Bayu