ICW: Politisasi Bansos Rawan Terjadi di Pemilu 2019

ANTARA FOTO/Nova Wahyudi
Penyaluran bantuan sosial seperti Program Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) dinilai rawan dipolitisasi untuk Pemilu Serentak 2019.
Penulis: Dimas Jarot Bayu
15/2/2019, 20.53 WIB

Bantuan sosial (bansos) seperti Program Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) dinilai rawan dipolitisasi untuk Pemilu Serentak 2019. Sebab, bansos dinilai dapat mempengaruhi para penerimanya untuk memilih calon tertentu.

"Karena bansos ini program yang sifatnya populis," kata Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Almas Sjafrina di Jakarta, Jumat (15/2). Potensi politisasi bansos muncul dengan adanya ajakan kepada para penerimanya untuk memilih calon tertentu saat penyaluran dilakukan. Bisa pula terselip simbol-simbol politik tertentu dalam produk bansos yang disalurkan.

Almas mengatakan, potensi politisasi ini semakin terlihat ketika dana bansos tahun ini meningkat hampir 40%. Anggaran bansos dalam APBN 2019 sebesar Rp 50 triliun sedangkan tahun lalu dana bansos tercatat sebesar Rp 36 triliun.

Selain itu, penyaluran bansos PKH tahun ini diubah jadwalnya dari sebelumnya Februari, Mei, Agustus, dan November. Pada 2019, jadwal penyaluran bansos PKH menjadi Januari, April, Juli, dan Oktober. "Soal politisasi ini sangat relate dalam konteks Pilpres 2019," kata Almas.

Wakil Direktur Madrasah Antikorupsi PP Muhammadiyah Gufroni menilai, indikasi politisasi dana bansos sudah terlihat di beberapa daerah saat ini. Menurutnya, ada pendamping PKH yang melakukan intimidasi supaya keluarga penerima manfaat memilih calon tertentu.

Ada pula pendamping PKH yang memberikan bansos sembari membagikan alat peraga kampanye. Lebih lanjut, ada pula modus dari pendamping PKH yang ikut memfasilitasi pertemuan terbatas antara keluarga penerima manfaat dengan calon anggota legislatif (caleg) tertentu. "Ada juga pendamping PKH yang merangkap sebagai caleg," kata Gufroni.

Atas dasar itu, Gufroni menilai persoalan politisasi penyaluran dana bansos ini perlu diawasi. Dia berharap agar Kementerian Sosial dapat memecat pendamping PKH yang tidak netral ketika menyalurkan bansos. Gufroni juga meminta Bawaslu mengawasi dan menindaklanjuti adanya politisasi dana bansos ini.

(Baca: Pemerintah Andalkan Bansos dan Dana Desa untuk Mengurangi Kemiskinan)

Bawaslu Kesulitan Tindak Lanjuti Politisasi Bansos

Komisioner Bawaslu Rahmat Bagja mengaku, pihaknya kesulitan untuk menindaklanjuti adanya politisasi dalam penyaluran dana bansos. Pasalnya, penyaluran bansos sudah menjadi kebijakan negara yang telah ditetapkan pemerintah bersama DPR.

Bawaslu baru bisa menindaklanjuti persoalan bansos jika ditemukan adanya tindakan penyelewengan oleh para pendamping PKH. Misalnya, pendamping PKH mengajak para penerima manfaat untuk memilih salah satu calon dalam Pemilu.

"Kesulitannya sudah disahkan dalam APBN maka tidak bisa dianggap bermasalah. Ini yang kemudian tidak bisa dijangkau oleh Bawaslu," kata Bagja.

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengakui memang sulit bagi Bawaslu untuk bisa menindaklanjuti politisasi dalam penyaluran bansos. Karenanya, Titi menyarankan agar edukasi terhadap para pemilih diprioritaskan.

Alhasil, mereka dapat mencegah ajakan memilih calon tertentu ketika mendapat bansos. "Para penerima manfaat juga bisa melaporkan ketika ada politisasi bantuan bansos," kata Titi.

Lebih lanjut, Titi menilai kerja Bawaslu harus bisa terintegrasi dengan aparat penegak hukum lainnya, seperti Kepolisian, Kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dengan demikian, penindakan pelanggaran penyaluran bansos tidak hanya bertumpu pada Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Jika hal itu tidak dilakukan, Titi khawatir Pemilu tercederai. "Karena ini daya rusaknya besar, orang bisa menjadi tidak bebas memilih," kata Titi.

(Baca: KPK Minta Kemensos Awasi Ketat Penyaluran Bansos)

Reporter: Dimas Jarot Bayu