Beberapa survei menunjukkan Calon Presiden nomor urut 01 Joko Widodo (Jokowi) masih lebih unggul dibandingkan pesaingnya, Prabowo Subianto. Namun, kondisi ekonomi yang lemah diperkirakan dapat mempersempit selisih elektabilitas Jokowi dan Prabowo.
Pakar Ekonomi DBS Group Research Masyita Crystallin mengatakan, beberapa jajak pendapat terbaru pada periode 18 Oktober 2018 hingga 19 Januari 2019 menunjukkan pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin masih memimpin dengan selisih sekitar 20%. Angka tersebut masih cukup lebar dibandingkan dengan hasil Pemilu 2014 di mana Jokowi meraih suara 53,15% sedangkan Prabowo mendapatkan 46,85% sehingga selisihnya hanya 7%.
Dari sisi partai koalisi, Jokowi memiliki elektabilitas legislatif lebih tinggi, yakni 53,6% dari sembilan partai yang ada di dalam Koalisi Indonesia Kerja. Adapun Prabowo dengan empat partai yang menjadi anggota Koalisi Adil Makmur memiliki elektabilitas legislatif 27,3%.
Hal ini berbeda dengan Pemilu 2014 di mana koalisi Jokowi yang terdiri atas lima partai mendapatkan 36,5% kursi di parlemen sedangkan Prabowo dengan tujuh partai meraih 63,54% kursi. Meski demikian, DBS menilai tidak ada korelasi antara Pilpres dan Pemilu Legislatif (Pileg) sebagaimana di 2014.
Menurut Masyita, Pemilu 2019 bersifat netral terhadap prospek pertumbuhan ekonomi dan menciptakan stabilitas pemerintahan. Namun, ada beberapa hal yang patut diperhatikan.
"Setelah bertahun-tahun menjalankan reformasi untuk meningkatkan daya saing dan pertumbuhan jangka panjang melalui pembangunan infrastruktur, reformasi pajak, dan reformasi subsidi bahan bakar, kami berharap reformasi yang sama akan berlanjut, terlepas dari hasil Pemilu," ujar Crystallin dalam risetnya.
Hal lain yang belum ditangani termasuk menghidupkan kembali sektor manufaktur berorientasi ekspor, yang diperlukan untuk pertumbuhan jangka panjang lebih tinggi. Selain itu, pemerintahan baru akan menghadapi tantangan menurunkan defisit neraca berjalan yang terus melebar dan meningkatkan nilai ekspor komoditas.
(Baca: Impor Pangan dan Utang Diramal Jadi Isu Utama Debat Capres Putaran Dua)
Isu Ekonomi dan Blunder Debat
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi mengatakan, ada dua isu yang dapat menggeser suara dari masing-masing paslon, yakni isu ekonomi dan blunder debat. Persoalan ekonomi seperti inflasi hingga harga sembako merupakan bagian dari kebutuhan masyarakat. Isu ini akan vital bahkan melebihi isu Partai Komunis Indonesia (PKI) yang kerap menyasar salah satu calon presiden (capres).
"Kampanye terbuka sebanyak apapun akan kecil dampaknya," kata Burhanudin usai acara Peluang dan Risiko Investasi Jelang Pilpres yang digelar Katadata Insight Center (KIC) di Jakarta, Rabu (30/1).
Dalam presentasinya, Burhanuddin juga menyebutkan bahwa persoalan persepsi masyarakat lebih penting dalam sudut pandang politik. Hal ini berpotensi membuat fakta-fakta ekonomi dikesampingkan dalam pemilihan.
Survei nasional yang digelar Indikator pada Desember lalu menunjukkan 38% responden menyatakan kondisi ekonomi pada 2018 lebih baik dibandingkan dengan 2017. Angka ini turun dibandingkan hasil survei Februari 2018 di mana 43% responden menyatakan ekonomi 2018 lebih baik ketimbang 2017.
Sementara, 22% responden mengaku ekonomi lebih buruk pada Desember 2018 dibandingkan periode yang sama 2017. Hal ini menunjukkan masyarakat yang merasa ekonomi lebih buruk meningkat dibandingkan hasil survei Februari 2018 sebanyak 20%.
Meski begitu secara keseluruhan, lebih banyak masyarakat yang menganggap ekonomi saat ini lebih baik dan jauh lebih baik ketimbang yang berpendapat lebih buruk dan jauh lebih buruk. Apabila ditotal, jumlah masyarakat yang menilai positif kondisi ekonomi nasional mencapai 38%, sedangkan yang anggap negatif hanya 21%.
(Baca juga: Isu Ekonomi dan Blunder Debat Bisa Geser Pemilih Jokowi dan Prabowo)