Ekonom Universitas Indonesia (UI) Faisal Basri berharap presiden yang terpilih pada Pilpres 2019 dapat membentuk dana abadi energi. Dengan demikian, tidak semua pendapatan dari produksi energi, seperti minyak, gas, dan batu bara langsung dihabiskan.
Pembentukan dana abadi energi ini diterapkan di salah satu negara bagian di Amerika Serikat (AS) dan Timor Leste. "Jadi tidak semua pendapatan dari sumber daya alam itu dihabiskan karena ada jatah generasi yang akan datang," kata Faisal di Nifarro Park, Jakarta, Kamis (14/2).
Faisal mengatakan, pemerintah saat ini seperti kesurupan dalam menghabiskan sumber daya energi yang ada. Alhasil, tidak ada dana yang disimpan dan diinvestasikan untuk generasi mendatang.
Hal ini misalnya terjadi pada sektor batu bara. Faisal mengatakan, total cadangan baru bara yang ada di Indonesia sebenarnya hanya 2,2% dari total cadangan dunia.
Dari total cadangan tersebut, nilai produksi batu bara Indonesia sebesar 7,2%. Sementara itu, nilai ekspornyanya mencapai 16,1%.
Angka ini jauh berbeda dengan di AS. Negeri Paman Sam itu memiliki cadangan batu bara sebesar 24,2% dari total cadangan dunia. Hanya saja, nilai produksi batu bara AS hanya 5,5% dari total cadangan mereka. Sementara, nilai ekspor batu bara AS hanya sebesar 8,9%.
"Artinya prioritas pro-SDA ini, tidak dieksploitasi gila-gilaan. Kalau pun eksploitasi, itu untuk kebutuhan dalam negeri," kata Faisal.
(Baca: Lima Agenda Penting Sektor Energi yang Jadi PR Presiden Terpilih)
Integrasi Kilang dan Industri Petrokimia
Selain pembentukan dana abadi, presiden terpilih harus mampu mengintegrasikan pembangunan kilang dengan industri petrokimia. PT Pertamina (Persero) saat ini memiliki kilang tetapi tak terhubung dengan industri petrokimia.
Kebalikannya terjadi pada PT Chandra Asri Petrochemical Tbk (TPIA). Korporasi itu memiliki industri petrokimia, namun tak terhubung dengan kilang.
"Jadi Pertamina mengekspor minyaknya ke luar negeri. Chandra Asri melakukan impor dari hasil minyak itu untuk produksi mereka. Ini bakal memberi keluasaan kepada rente," kata Faisal.
Sebenarnya, Pertamina sudah mau mendorong pengintegrasian antara kilang dan industri petrokimia. Hal tersebut direncanakan terjadi di Tuban, Jawa Timur.
Namun, rencana itu tak bisa terealisasi karena anggaran Pertamina dibebankan berbagai kebijakan pemerintah, seperti kebijakan BBM Satu Harga dan subsidi BBM. Karenanya, dia menilai presiden terpilih nantinya harus memiliki visi untuk mengintegrasikan kilang dan industri petrokimia ini.
"Jadi wajib ada visi industri dari Pertamina. Kalau lanjut begini ngapain pilih Jokowi. Kalau Prabowo enggak punya visi ini, ngapain dipilih," kata Faisal.
(Baca: Aturan Presiden Soal Kilang Direvisi, Pertamina Harus Setor Modal)