Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebut penerbitan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 106 tahun 2018 tak akan mengancam keberadaan spesies kayu endemik. Sepuluh spesies kayu yang dikeluarkan dari status perlindungan tersebut memang bisa ditebang.
Sepuluh spesies kayu itu adalah kayu besi atau Merbau Maluku (intsia palembanica), ulin (eusideroxylon zwagery), damar pilau (agathis bornensis), palahlar mursala (dipterocarpus cinereus), dan palahlar Nusakambangan (dipterocarpus littolaris). Lalu, kokoleceran (vatica bantamensis), upan (upuna bornensis), medang lahu (beilschmiedia madang), kempas Malaka (koompasia malaccensis), dan kempas kayu raja (koompasia exselsa).
"Keberadaan 10 pohon itu ternyata memang masih ada. Dibuktikan dengan produksi dari izin yang diberikan oleh pemerintah kepada swasta," kata Sekretaris Jenderal KLHK Bambang Hendroyono di Kantor Staf Kepresidenan, Jakarta, Selasa (12/2).
Pengeluaran sepuluh spesies kayu dari status perlindungan itu telah berdasarkan hasil inventarisasi Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) KLHK. Inventarisasi dilihat dari data Rencana Kerja Tahunan (RKT) perusahaan-perusahaan pemilik konsesi hutan.
Bambang mengatakan, ketika Peraturan Menteri LHK Nomor 20 Tahun 2018 diterbitkan tak dilakukan inventarisasi serupa. "Dari hasil inventarisasi memang keberadaannya besar, banyak. Itu corrective action kami, maka keluarlah Permen LHK Nomor 106 Tahun 2018," kata Bambang.
(Baca: Pemerintah Hapus Kewajiban Laporan Surveyor untuk Empat Komoditas Ini)
Didukung Kajian Akademik
Dia pun menyebut hasil inventarisasi telah didukung kajian akademik yang berasal dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Alhasil, Bambang mengklaim pengeluaran sepuluh spesies kayu dari status perlindungan telah dilakukan secara teliti.
Dia berharap pihak-pihak yang mengkritik terbitnya Permen LHK 160 Tahun 2018 melihat realita terlebih dahulu. "Jadi bukan menggarap sesuatu yang enggak ada dasarnya," kata dia.
Penerbitan Permen LHK Nomor 106 Tahun 2018 sebelumnya dikritik 60 organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK). Mereka menilai aturan tersebut akan berdampak pada meningkatnya laju kehilangan hutan alam di Indonesia.
Sebab, Permen LHK Nomor 106 Tahun 2018 telah membebaskan status perlindungan terhadap sepuluh spesies kayu endemik yang sebelumnya dilindungi. Pengampanye JPIK Dhio Teguh Ferdyan menyebut delapan dari sepuluh jenis kayu itu dikategorikan sebagai spesies yang kritis, genting, dan rentan berdasarkan IUCN Red List.
Lima di antara spesies kayu itu merupakan spesies endemik. "Dengan mempertimbangkan rendahnya populasi dan tingginya tingkat keterancaman, seharusnya KLHK tetap menjadikan spesies tersebut dalam kategori dilindungi," kata Dhio.
JPIK khawatir pemberlakukan Permen LHK Nomor 106 Tahun 2018 membuka ruang bagi para pemburu kayu-kayu eksotis bernilai ekonomi tinggi untuk memperdagangkannya secara masif. Kelonggaran yang diberikan pemerintah kepada pemilik Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu–Hutan Alam (IUPHHK-HA) dinilai bertentangan dengan semangat perlindungan keanekaragaman hayati dan penegakan hukum.
(Baca: Pelarangan Sawit Berpotensi Meningkatkan Masalah Deforestasi)