Produksi batu bara PT Adaro Energy mencapai target sesuai yang ditentukan pada 2018, yakni 54,04 juta ton. Khusus untuk kuartal keempat, produksinya sebesar 15,06 juta ton. Peningkatan produksi tersebut diiringi makin besarnya penjualan salah satu perusahaan tambang terbesar di Indonesia ini, terutama untuk pasar ekspor.
Produksi tersebut disumbang dari PT Adaro Indonesia (AI) 48,33 juta ton, Balangan Coal Companies 4,07 juta ton, dan Adaro MetCoal Companies 1,01 juta ton. Sedangkan Kastrel Coal Resources berkontribusi 4,76 juta ton. (Baca juga: Permintaan Menyusut, Harga Batu Bara Februari 2019 Turun 0,7%)
Head of Corporate Secretary & Investor Relations Division Adaro Energy Mahardika Putranto mengatakan pencapaian tersebut disebabkan nisbah kupas pada periode 2018 mencapai 5,06 kali. “Pada tahun lalu sedikit melebihi panduan yang ditetapkan yaitu 4,9 kali,” kata Mahardika dalam keterangan resminya, Senin (11/2).
Nisbah kupas merupakan perbandingan jumlah tanah penutup batu bara dalam satuan meter kubik padat yang harus dibuang untuk menghasilkan 1 ton batu bara. Dengan tercapainya target produksi ini, volume penjualan pun meningkat. Pada 2018, penjualan Adaro mencapai 54,39 juta ton, atau meningkat 5 % dari periode 2017 sebesar 51,82 juta ton.
Penjualan ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia sebesar 40 % dari total volume transaksi. Sementara itu, ekspor ke Asia Timur 30 %, diikuti dengan India dan Cina masing-masing sebesar 14 % dan 11 %. Peningkatan penjualan ini disebabkan kenaikan permintaan India terhadap impor batu bara pada 2018.
Pasar batu bara di awal 2018 dimulai dengan harga yang tinggi, namun mulai semester dua harga spot internasional untuk batu bara berkalori di bawah 5.500 terkoreksi. Hal ini membuat tantangan besar bagi pasar batu bara.
(Baca: Pelemahan Ekonomi Tiongkok Mengancam Ekspor CPO dan Batu Bara RI)
Akibatnya, perbedaan antara harga batu bara acuan Global Coal Newcastle (gCN) dan batu bara sub-bituminus semakin besar. Pasokan batu bara sub-bitimus yang melimpah tidak disertai dengan permintaan yang memadai di pasar sehingga menekan harga batu bara yang berkalori rendah 5.500 kkal per kilo gram, dan 4.200 kkal paling terdampak. Pengetatan suplai batu bara bituminus menahan harga acuan gCN tetap tinggi pada harga rata-rata US$ 104,20 per ton pada kuartal keempat 2018.
Namun, permintaan terhadap impor batu bara di Asia Tenggara -salah satu pusat pertumbuhan pasar batu bara termal dan seaborne global- naik 17 % dari periode 2017, menjadi 79 juta ton pada 2018. Permintaan ini paling banyak berasal dari Malaysia, Fillipina, Thailand, dan Vietnam. Malaysia merupakan importir terbesar mencapai 34 juta ton.
(Baca juga: Emas Hitam Mahakam dalam Bidikan KPK)
Melihat perkembanga tersebut, Adapun menargetkan produksi pada tahun ini 54-56 juta ton, dengan nisbah kupas 4,56 kali. Adapun laba sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi (EBITDA) operasional diperkirakan US$ 1-1,2 miliar. Sedangkan belanja modalnya US$ 450-600 juta.
Harga Batu Bara Acuan Sempat Turun
Penurunan harga batu bara sejak semester kedua tadi masih cukup terasa di awal tahun ini. Harga batu bara acuan (HBA) periode Februari 2019 melemah 0,7 % dari bulan sebelmnya. Salah satu penyebabnya adalah turunnya permintaan.
Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan HBA Februari 2019 hanya US$ 91,80 per ton. Padahal, pada Januari 2019 bisa mencapai US$ 92,41 per ton.
Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama Kementerian ESDM Agung Pribadi mengatakan penurunan permintaan terjadi untuk Tiongkok dan India. Kedua negara tersebut masih mengkonsumsi batu bara hasil produksi setempat. “Tiongkok masih memanfaatkan produksi dalam negeri, India masih memiliki cadangan,” kata Agung, kepada Katadata.co.id, Senin (4/2).
Pembatasan impor dari Tiongkok juga menjadi salah satu faktor HBA menurun. Kebijakan ini membuat pasokan batu bara melimpah.