Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mencatat ada 28 kasus pelanggaran Pemilu 2019 yang telah diputuskan dalam persidangan. Dari jumlah tersebut, pelanggaran berupa politik uang paling banyak terjadi.
"Paling banyak dari 28 (kasus) itu persoalan politik uang," kata Ketua Bawaslu Abhan di Hotel Bidakara, Jakarta, Senin (11/2). Politik uang terjadi dengan berbagai macam modus. Dia mencontohkan, ada praktik yang dilakukan dengan membagikan sembako kepada masyarakat.
Ada pula praktik politik uang yang langsung dilakukan dengan memberikan uang kepada para pemilih. Selain itu, ada praktik politik uang dengan menjanjikan pergi umrah.
Hal tersebut sebagaimana yang dilakukan oleh Calon Anggota Legislatif dari Partai Amanat Nasional (PAN) DPRD DKI Mandala Shoji dan Lucky Andriani. Mandala dan Lucky ketahuan membagikan kupon undian berhadiah umrah ketika berkampanye di Pasar Gembrong Lama, Johar Baru, Jakarta.
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menilai Mandala dan Lucky meminta masyarakat penerima kupon umrah tersebut memilihnya sebagai caleg DPR RI dan DPRD Provinsi DKI Jakarta. Mandala dan Lucky terbukti melanggar Pasal 280 angka 1 huruf j Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017. Karenanya, Mandala dan Lucky divonis tiga bulan penjara dan denda Rp 5 juta subsider 1 bulan penjara.
Selain politik uang, Abhan juga menyebut netralitas menjadi pelanggaran yang cukup banyak ketika Pemilu 2019. Ada beberapa tindakan atau ucapan dari pejabat negara atau Aparatur Sipil Negara (ASN) yang menunjukkan keberpihakan kepada salah satu peserta Pemilu. Hal tersebut terjadi di berbagai kegiatan dan media sosial. "Lebih banyak di kegiatan," kata Abhan.
(Baca: PSI Desak Bawaslu Buka Kembali Kasus Mahar Politik Sandiaga)
Praktik Politik Uang
Sebelumnya, praktik politik uang diprediksi meningkat selama Pemilu Legislatif (Pileg) 2019. Ini lantaran Pileg 2019 masih menggunakan sistem proporsional terbuka yang fokus kepada calon anggota legislatif (caleg) ketimbang partai politik.
Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi mengatakan, pemilih yang mendapatkan tawaran politik uang pada Pileg 2014 mencapai 33%. "Di 2019, kita akan mendapatkan insiden politik uang yang lebih besar dibanding 2014," kata Burhanuddin dalam diskusi di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Jakarta, Jumat (8/2).
Pemilih yang telah mendapatkan tawaran politik uang hingga Desember 2018 saja sudah mencapai 5%. Padahal, di periode yang sama pada Pileg 2014, pemilih yang mendapatkan tawaran politik uang hanya 3%.
Menurutnya, angka ini akan semakin meningkat jelang hari pemungutan suara pada 17 April 2019. "Semakin dekat dengan hari H itu semakin naik (politik uang)," kata Burhanuddin.
(Baca: Politik Uang Akan Semakin Meningkat di Pilpres 2019)
Potensi peningkatan politik uang tahun ini lantaran Pileg 2019 masih menggunakan sistem proporsional terbuka. Menurutnya, sistem proporsional terbuka membuat kontestasi politik justru berfokus pada caleg ketimbang partai politik.
Alhasil, para caleg harus bersaing untuk mendapatkan insentif elektoral, bahkan dengan kandidat lain dari partainya sendiri. Hal ini membuat para caleg melakukan segala cara untuk bisa menggalang suara pemilih, termasuk menggunakan politik uang. "Caleg punya insentif menggunakan politik uang karena desain institusinya masih sama," kata Burhanuddin.
Hal senada disampaikan Direktur Eksekutif Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) August Mellaz. Sistem proporsional terbuka membuat kompetisi dalam Pileg menjadi sangat personal.
Kompetisi personal itu menjadi ketat karena saat ini ada 7.968 caleg DPR yang bersaing. Belum lagi di DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yang jumlahnya bisa mencapai ratusan ribu caleg.
Sementara, waktu bagi para caleg untuk menawarkan programnya kepada publik semakin pendek. Alhasil, praktik-praktik politik uang tersebut dilakukan untuk dapat menarik suara pemilih. "Mempertarungkan program di durasi waktu yang sangat mepet enggak terlalu punya dampak. Maka yang paling mudah kan konteks jual-beli suara," kata August.
(Baca: Pelanggaran Pemilu, Timses Prabowo Beri Bantuan Hukum Slamet Maarif )