Model pembiayaan politik dalam kampanye pemilihan umum (Pemilu) kembali menjadi sorotan. Sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) mencurigai adanya potensi pembiayaan ilegal melihat penurunan signifikan dalam Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK) partai politik yang berkompetisi dalam Pemilu 2019.
Dalam LPSDK 2014 tercatat dana kampanye sebesar Rp 2,1 triliun. Adapun pada LPSDK tahun ini hanya Rp 427,1 miliar saja. Direktur Eksekutif Sindikasi Pemilu Demokrasi August Mellaz mengatakan, penurunan dana kampanye ini aneh.
Pasalnya, Pemilu tahun ini diprediksi lebih alot dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun ini, pemilu akan diikuti 16 parpol atau lebih banyak dari parpol peserta Pemilu 2014 yang hanya 10 parpol. Jumlah daerah pemilihan (dapil) pun juga bertambah dari 77 dapil pada 2014 menjadi 80 dapil.
Dia mengingatkan, perlu ada kesadaran bersama dalam mengawasi pembiayaan kampanye Pemilu Legislatif (Pileg). Hal ini dilakukan untuk mencegah potensi pembiayaan ilegal dalam kampanye. "Apalagi tidak ada perubahan, sistem juga tidak berubah," kata August dalam diskusi Pembiayaan Gelap dan Korupsi Politik di Pemilu 2019, di Jakarta, Senin (29/1).
August juga menyoroti belanja kampanye yang masih berorientasi pada calon legislator. Total dari dana kampanye senilai Rp 427,1 miliar tersebut, sebanyak 79,1% berasal dari sumbangan caleg. Sedangkan parpol hanya berkontribusi 20,9% saja. August mengatakan, uang yang disetor caleg bisa saja merupakan dana dari sponsor yang di masa depan akan dipenuhi permintaan politiknya. "Karena ada kebutuhan yang harus didukung sponsor, apa itu tidak dilaporkan," kata dia.
Pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Mada Sukmajati mengatakan, selain pelaporan formal sebenarnya ada pula kebutuhan dana informal yang menguras kocek caleg. Dalam sebuah survei yang dilakukan saat pemilihan kepala daerah (Pilkada), dia pernah mendapatkan informasi ada calon yang melapor dana kampanye secara resmi Rp 900 juta. Namun, ternyata ongkos kampanye yang dikeluarkan bisa mencapai Rp 7 miliar. "Jadi pesan saya kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), jangan percaya laporan formalnya," kata Mada.
(Baca: Laporan ke KPU, Gerindra Miliki Dana Kampanye Terbesar)
Mada juga khawatir minimnya sumbangan parpol berpotensi membuat caleg mengandalkan pendanaan gelap. Apalagi, di masa lalu kasus korupsi besar seperti Hambalang terjadi karena adanya biaya politik yang perlu ditutup. "Pengeluaran itu mulai dari belanja iklan media massa dan elektronik hingga pembelian suara," kata dia.
Salah satu potensi donatur politik yang meminta imbal balik adalah perusahaan ekstraksi, seperti batu bara. Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Merah Johansyah mencontohkan, saat ini paling tidak ada 229 anggota dari 560 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang berafiliasi dengan bisnis ekstraksi.
Selain itu Merah juga kembali menyinggung perusahaan batu bara di sekitar calon presiden. Dia mengatakan, orang semisal Luhut Binsar Pandjaitan hingga Sakti Wahyu Trenggono merupakan sosok pebisnis ekstraksi di sekitar paslon nomor urut 01 Joko Widodo-Ma'ruf Amin. Trenggono sempat menjadi Komisaris di PT Merdeka Copper Gold.
Adapun capres-cawapres 02 yakni Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno juga disebut bermain bisnis batu bara dengan bendera masing-masing. "Ini (namanya) menyatukan bisnis dan politik," kata dia.
(Baca: Elite Politik Dua Kubu Capres di Pusaran Bisnis Batu Bara)