Diperiksa KPK, Menpora Jelaskan Mekanisme Pengajuan Proposal Hibah
Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi memenuhi panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai saksi dalam kasus dugaan suap penyaluran hibah kepada Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) tahun anggaran 2018. Dalam pemeriksaan, Imam menjelaskan soal mekanisme pengajuan proposal hibah yang harus melewati proses penelaahan mendalam dan identifikasi sebelum disetujui.
"Tentu mekanisme itu harus mengikuti peraturan undang-undang dan mekanisme yang berlaku di setiap kelembagaan pemerintahan. Itu saya sampaikan juga, semua pengajuan surat-surat pasti tercatat dengan baik di sekretariat atau di bagian tata usaha," kata Imam seperti dikutip Antara di Gedung KPK Jakarta, Kamis (24/1).
Ia mengatakan, semua proposal yang masuk diperlakukan sama. Meski begitu, ia mengaku tidak membaca langsung setiap proposal hibah yang diajukan kepada Kemenpora.
"Kalau (membaca) itu kan ada pembagian tugas yang jelas menurut UU. Ada pengguna anggaran, ada kuasa pengguna anggaran, dan tentu harus dipertanggungjawabkan dengan baik oleh penerima anggaran, penerima bantuan," ujar Imam.
Ia mengaku punya banyak tugas sebagai menteri, bukan hanya membahas proposal tetapi juga tugas-tugas lainnya. Oleh karena itu, ada sekretaris kementerian, deputi, asisten deputi, dan unit-unit teknis yang menjalankan tugas masing-masing.
KPK telah menetapkan lima tersangka dalam kasus dugaan suap penyaluran dana hibah kepada KONI senilai Rp 17,9 miliar. KPK menetapkan Sekretaris Jenderal KONI Ending Fuad Hamidy (EFH) dan Bendahara Umum KONI Jhonny E Awuy (JEA) sebagai tersangka pemberi suap.
Adapun tersangka penerima suap adalah Deputi IV Kementerian Pemuda dan Olahraga Mulyana (MUL), Adhi Purnomo (AP) selaku Pejabat Pembuat Komitmen pada Kemenpora, serta Eko Triyanto (ET) yang merupakan staf Kementerian Pemuda dan Olahraga.
(Baca: KPK Tetapkan 5 Tersangka Kasus Suap Dana Hibah Kemenpora)
KPK menduga Mulyana, Adhi Purnomo, dan Eko Triyanto menerima pemberian sekurang-kurangnya Rp 318 juta dari pejabat KONI terkait hibah pemerintah kapada KONI melalui Kemenpora. Mulyana menerima uang dalam ATM dengan saldo sekitar Rp 100 juta.
Sebelumnya, Mulyana juga telah menerima pemberian-pemberian lainnya. Pada April 2018, ia menerima satu unit mobil Toyota Fortuner. Pada Juni 2018, Mulyana menerima Rp 300 juta dari Jhonny E Awuy, dan pada September 2018 menerima satu unit ponsel Samsung Galaxy Note 9.
Menurut KPK, pengajuan dan penyaluran dana hibah tersebut hanya "akal-akalan" dan tidak didasari kondisi yang sebenarnya. Sebelum proposal diajukan, diduga telah ada kesepakatan antara pihak Kemenpora dan KONI untuk mengalokasikan "fee" sebesar 19,13% atau Rp 3,4 miliar dari total dana hibah Rp 17,9 miliar.
Dalam pengembangan kasus itu, KPK telah mengidentifikasi peruntukan dana hibah dari Kemenpora ke KONI tersebut akan digunakan untuk pembiayaan pengawasan dan pendampingan atau wasping. Pembiayaan wasping tersebut mencakup penyusunan instrumen dan pengelolaan database berbasis android bagi atlet berprestasi dan pelatih berprestasi tahun jamak atau multi event internasional.
Selain itu, dana akan digunakan untuk penyusunan instrumen dan evaluasi hasil pemantauan serta evaluasi atlet berprestasi menuju SEA Games 2019. Terakhir, penyusunan buku-buku pendukung wasping untuk meningkatkan prestasi olahraga nasional.
Dalam operasi tangkap tangan (OTT) pada 18 Desember 2018, tim KPK juga menyita sejumlah barang bukti, antara lain uang sebesar Rp 318 juta, buku tabungan dan ATM dengan saldo sekitar Rp 100 juta atas nama Jhonny E Awuy yang dalam penguasaan Mulyana. KPK juga menyita mobil Chevrolet Captiva warna biru milik Eko Triyanto serta uang tunai dalam bingkisan plastik di kantor KONI sejumlah Rp 7 miliar.
(Baca: Tahun Ini, KPK Pecahkan Rekor OTT Terbanyak Sepanjang Sejarah)