Jokowi Syaratkan Abu Bakar Baasyir Setia Pancasila untuk Bisa Bebas

Katadata | Arief Kamaludin
Presiden Joko Widodo dalam rapat kabinet di Istana Negara, Jakarta.
22/1/2019, 19.40 WIB

Presiden Joko Widodo (Jokowi) memastikan proses pembebasan Abu Bakar Baasyir merupakan pembebasan bersyarat. Oleh sebab itu, dia meminta terpidana kasus terorisme tersebut memenuhi semua syarat, termasuk ikrar setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Pancasila.

Jokowi enggan menabrak prosedur hukum dalam menyelesaikan proses bebasnya Baasyir ini. Apalagi persyaratan mendasar itu merupakan bagian dari perundang-undangan yang ada di Indonesia. "Itu sangat prinsip sekali," kata Jokowi, dalam keterangan resmi Sekretariat Kabinet, Selasa (22/1).

Jokowi juga kembali menjelaskan pertimbangannya memberi status bebas bersyarat kepada pimpinan Jamaah Islamiyah tersebut lantaran aspek kemanusiaan. Baasyir disebutnya sudah tua dan mengalami gangguan kesehatan. Namun tetap saja, tuntasnya proses pembebasan tersebut kembali kepada Baasyir. "Bayangkan kalau kita sebagai anak melihat orang tua sakit-sakitan seperti itu," kata Jokowi.

Kemarin malam, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto mengatakan, Presiden Jokowi tidak ingin terburu-buru untuk mengambil keputusan lantaran banyak aspek yang perlu dipertimbangkan. Beberapa di antaranya adalah NKRI, Pancasila, dan hukum. "Presiden bilang tidak boleh grusa-grusu (terburu-buru) dan serta-merta mengambil keputusan," kata Wiranto.

Rencana pembebasan Abu Bakar Baasyir terkendala dua persyaratan yang belum disetujui oleh terpidana kasus terorisme tersebut. Kedua prasyarat yang dimaksud adalah pernyataan untuk setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Pancasila, serta mengakui dan menyesali tindakan pidana yang dilakukan.

Ketua Pembina Tim Pengacara Muslim (TPM) Mahendradatta mengatakan, soal setia pada Pancasila dan NKRI, Baasyir beralasan belum ada argumentasi yang memuaskan mantan pimpinan Pondok Pesantren Al Mukmin, Ngruki tersebut.

Penasihat hukum Joko Widodo-Ma'ruf Amin, Yusril Ihza Mahendra, sebelumnya sempat membujuk Baasyir dengan mengatakan Islam dan Pancasila tidak bertentangan. Namun, Baasyir tetap berkukuh dengan pendapatnya.

Sedangkan untuk poin penyesalan, Baasyir tidak mau mengakuinya. "Biarpun beliau dipenjara, namun tidak mau mengakui pidana," kata Mahendradatta kemarin.

(Baca: Wiranto: Soal Baasyir, Presiden Tak Mau Buru-buru Ambil Keputusan)

Protes dari Australia

Rencana pembebasan Baasyir ini mengundang pro dan kontra termasuk dari pemerintah Australia.  Perdana Menteri Australia Scott Morrison menghubungi pemerintah Indonesia untuk memprotes rencana pembebasan Baasyir ini.

"Posisi Australia dalam persoalan ini tidak berubah. Kami selalu menyampaikan keberatan paling mendalam," kata Morrison seperti dikutip Reuters, Senin (21/1).

Keberatan Australia ini dilatarbelakangi peristiwa Bom Bali pada 2002 yang menewaskan 88 orang warga negara Australia. "Kami menjadi mitra ketika menyangkut pemberantasan terorisme dan ekstremisme agama, dan kami akan terus melanjutkan itu. Kami akan terus terlibat dengan pemerintah Indonesia dalam persoalan yang sangat sensitif ini," kata Morrison.

Kementerian Luar Negeri Australia pada Maret 2018 menyebut Baasyir sebagai dalang di balik peristiwa Bom Bali. Oleh karena itu, pemerintah Australia berharap keadilan ditegakkan hingga ke level maksimal yang dimungkinkan oleh aturan hukum di Indonesia.

(Baca: Tim Pengacara: Pembebasan Abu Bakar Baasyir Jangan Dipolitisasi)

Reporter: Ameidyo Daud Nasution