Perhelatan Pemilu Presiden (Pilpres) 2019 dinilai tak akan mampu menghasilkan pemimpin yang dapat menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Kedua calon presiden, yakni Joko Widodo dan Prabowo Subianto, dianggap tak memiliki rekam jejak yang baik terkait persoalan HAM.
Inisiator aksi Kamisan, Maria Catarina Sumarsih, menilai Jokowi selama memerintah sebagai Presiden tak mampu menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM berat. Padahal, hal tersebut sempat dijanjikan Jokowi ketika berkampanye pada Pilpres 2014.
Jokowi justru memberikan posisi penting kepada orang-orang yang diduga terlibat dalam kasus pelanggaran HAM berat. Ia mencontohkan pengangkatan Wiranto sebagai Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam) pada Juli 2016.
Sumarsih menyebut Wiranto turut bertanggung jawab dalam berbagai kasus pelanggaran HAM pada medio 1990-an. Nama Wiranto kerap dikaitkan terlibat dalam peristiwa penyerangan markas PDIP pada 27 Juli 1996 atau Kudatuli, Tragedi Trisakti, peristiwa Semanggi I dan II, penculikan dan penghilangan aktivis pro-demokrasi tahun 1997-1998, Biak Berdarah, dan kasus Timor Leste.
Jokowi pun sempat mengangkat Sutiyoso menjadi Kepala Badan Intelijen Negara (BIN). Sutiyoso diduga ikut bertanggung jawab dalam peristiwa Kudatuli lantaran ketika itu dia menjabat sebagai Pangdam Jaya.
(Baca: KPU: Capres-Cawapres Boleh Bawa 100 Pendukung di Ruang Debat)
Sumarsih juga mempertanyakan kebijakan Jokowi memberikan posisi penasihat kepada A.M Hendropriyono. Pasalnya, Hendropriyono diduga terlibat dalam kasus pembunuhan aktivis HAM Munir Said Thalib. Dia juga diduga bertanggung jawab atas kasus Talangsari.
Lebih lanjut, Sumarsih mengkritisi pengangkatan Try Sutrisno sebagai Dewan Pengarah Unit Kerja Presiden Pemantapan Ideologi Pancasila (UKP-PIP). Sebab, Try diduga ikut bertanggung jawab dalam kasus pelanggaran HAM di Tanjung Priok yang terjadi pada 12 September 1984. "Jokowi ini pelindung para pelanggar HAM berat," kata Sumarsih, di Gedung Joang 45, Jakarta, Rabu (16/1).
Sementara itu, Sumarsih menilai Prabowo merupakan salah satu terduga pelaku pelanggaran HAM berat. Prabowo diduga terlibat penculikan aktivis 1997-1998 ketika menjabat sebagai Komandan Jenderal Kopassus.
Prabowo pun diduga terlibat dalam kasus pelanggaran HAM di Timor Leste. Ia tercatat pernah menjadi komandan salah satu grup yang bertugas di sana pada 1978-1979. "Latar belakang Prabowo, dia terduga pelaku pelanggaran HAM berat," kata Sumarsih.
Dengan rekam jejak tersebut, Sumarsih pesimistis, siapapun presiden terpilih nantinya akan mampu menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat. Hal senada disampaikan pula oleh Direktur Lokataru Foundation, Haris Azhar.
Menurut Haris, tidak ada harapan kasus pelanggaran HAM berat akan dituntaskan jika melihat kandidat yang bertarung dalam Pilpres 2019. Visi-misi kedua kandidat yang mencantumkan penuntasan kasus pelanggaran HAM hanya berupa jargon.
Hal tersebut akan sulit direalisasikan. "Siapa yang pantas? Enggak ada yang pantas," kata Haris.
(Baca: Jelang Debat Pilpres, Jokowi Siapkan Data dan Program Sesuai Tema)