Kepolisian Republik Indonesia (Polri) menyatakan aksi terorisme sepanjang 2018 meningkat menjadi 17 aksi dibandingkan tahun lalu yang sebanyak 12 aksi. Polri lebih mudah melakukan tindakan pencegahan setelah kasus Bom Surabaya dan adanya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Antiterorisme.
Hal tersebut diungkapkan Kapolri Jenderal Tito Karnavian dalam Konferensi Pers Akhir Tahun 2018 di Gedung Mabes Polri, Jakarta, Kamis (27/12). "Kriminalisasi terhadap perbuatan awal ini bagus sehingga Polri bisa mencegah atau melakukan preemptive strike daripada menunggu ada barang bukti terlebih dahulu," ujar Tito.
Dengan UU Nomor 5 Tahun 2018, Polri berhasil mencegah teror sebelum menghadapi perhelatan besar Asian Games 2018, Asian Para-Games 2018, serta pertemuan tahunan Dana Moneter Internasional (IMF)-Bank Dunia. Polri menangkap 270 orang karena menebar ancaman teror. Polri telah mengetahui petanya sehingga saat Asian Games berlangsung, aksi teror jauh menurun.
Jumlah pelaku teror yang berhasil diungkap selama 2018 sebanyak 396 orang. Sebanyak 141 orang ditindaklanjuti dengan penegakan hukum melalui sidang, penyidikan 204 orang, meninggal karena penegakan hukum 25 orang, meninggal karena bunuh diri 13 orang, divonis 12 orang, dan meninggal karena sakit satu orang.
Di sisi lain, jumlah personel Polri yang menjadi korban teror pun meningkat dibanding 2017. Korban gugur meningkat dari empat orang menjadi delapan sedangkan personel yang terluka dari 14 orang menjadi 23 orang. Namun, secara umum jumlah total kejahatan baik kejahatan konvensional, transnasional, kekayaan negara, dan yang berimplikasi kontijensi selama 2018 menurun dibandingkan 2017.
Beberapa kasus terorisme yang terjadi di 2018, antara lain kasus amuk narapidana dan tahanan kasus terorisme di Rumah Tahanan Markas Komando Brigade Mobil (Mako Brimob) di Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat pada 8 Mei 2018. Kemudian, teror bom bunuh diri di tiga gereja di Surabaya, Jawa Timur pada 13 Mei 2018.
(Baca: Dalam 5 Tahun, Pemerintah Tangkal 189 WNA Terkait ISIS dan Terorisme)
Pencegahan WNA
Berdasarkan catatan Direktorat Jenderal Imigrasi, Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia (Kemenkumham), pada periode 2014-2018 ada 189 Warga Negara Asing (WNA) ditangkal masuk Indonesia lantaran terkait Negara Islam Irak dan Syam (NIIS atau ISIS) dan terorisme. Pencegahan dilakukan atas permintaan dari Polri maupun Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Direktur Jenderal Imigrasi Ronny Sompie mengatakan, langkah ini merupakan bagian dari pencegahan masuknya terorisme melalui pintu-pintu masuk dan perbatasan negara. Dari 189 WNA yang ditangkal, sebanyak 34 orang merupakan oknum yang berafiliasi langsung dengan ISIS sedangkan 155 orang tidak terafiliasi kelompok tersebut. "Mereka datang dari berbagai negara, tapi tidak bisa disebut," kata Ronny usai acara Pertemuan Sub Regional Penanggulangan Terorisme di Jakarta, Selasa (6/11).
Selain penangkalan, salah satu cara memperkuat pencegahan masuknya teroris adalah dengan berbagi data dan informasi dengan negara lain. "Data juga dapat diakses lewat I/24/7 milik INTERPOL," kata Ronny. Fasilitas yang disebut Ronny merupakan portal di dalam situs INTERPOL yang memungkinkan para polisi seluruh dunia bertukar data.
(Baca: Kominfo Blokir 500 Situs Terorisme, Radikalisme dan Separatisme)