Bekraf Siapkan Skema Pendanaan Berbasis Kekayaan Intelektual

Katadata / DINI HARIYANTI
Animator Kadek Satria Adhidarma menjelaskan serial animasi Monkeybread Island pada Demo Day Katapel, di Jakarta, Selasa (13/11). Program Katapel digagas oleh Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) untuk memfasilitasi pelaku industri kreatif mengkomersilkan kekayaan intelektualnya.
Penulis: Dini Hariyanti
27/12/2018, 14.22 WIB

Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) mengkaji mekanisme khusus agar kekayaan intelektual bisa menjadi jaminan pendanaan perbankan. Implementasi Intellectual Property Rights (IPR) Financing terkendala belum adanya lembaga sertifikasi valuator karya intelektual.

Wakil Kepala Bekraf Ricky J. Pesik mengatakan bahwa kajian tersebut belum selesai. Kehadiran IPR Financing diharapkan membuat lembaga jasa keuangan lebih leluasa dalam mengucurkan pinjaman ke sektor ekonomi kreatif (ekraf).

"Ini prosesnya (kajian) masih panjang. Kehadiran lembaga yang memvaluasi (nilai ekonomi) kekayaan intelektual saja belum ada. IPR Financing ini untuk pengusaha mengakses dana lembaga keuangan bukan APBN," tuturnya kepada Katadata.co.id, Kamis (27/12).

Lembaga tersebut dibutuhkan untuk mencetak individu dengan kompetensi khusus untuk memvaluasi karya intelektual kreatif. Mereka akan disertifikasi sebelum menjadi valuator. (Baca juga: Tanpa SDM Penilai, Kekayaan Intelektual Tak Bisa Jadi Agunan Kredit

Kekayaan Intelektual merupakan hasil kerja daya pikir manusia yang tidak berwujud. Hak Kekayaan Intelektual (HKI / Intellectual Property Rights) meliputi hak cipta, paten, merek dagang, dan rahasia dagang.

IPR Financing bukan skema baru di dunia bisnis. Di Indonesia, HKI berupa hak cipta bisa menjadi jaminan bagi pengusaha untuk mengakses pendanaan dari lembaga jasa keuangan tetapi penerapannya belum optimal. 

Undang-undang No. 28/2014 tentang Hak Cipta menyatakan, hak cipta bisa digunakan sebagai objek jaminan fidusia. Istilah 'fidusia' merujuk kepada aktivitas pengalihan hak kepemilikan benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda bersangkutan tetap dalam penguasaan pemiliknya. 

"HKI bisa jadi fidusia. Tapi peraturan untuk implementasinya harus disiapkan termasuk kelembagaannya (valuator)," ucap Ricky. (Baca juga: Blockchain Optimalkan Monetisasi Kekayaan Intelektual Sektor Kreatif)

Pengembang permainan edukasi ponsel, Educa Studio, mengakui pentingnya HKI dalam menjalankan bisnis kreatif. Finalis Program Katapel Bekraf ini menyatakan, pendaftaran kekayaan intelektual tak perlu menunggu karya yang dibuat laku di pasar.

"(Gim) Marble itu saat kami bangun sudah kami proses pendaftaran HKI-nya. Kita tidak akan tahu produk kita akan sukses dan besar atau gagal. Jadi, HKI memang sangat penting," ucap CEO Educa Studio Andi Taru Nugroho NW kepada Katadata.co.id secara terpisah.

Marble adalah permainan edukasi mobile yang pertama dibuat Edica Studio pada 2011. Kekayaan intelektual atas gim ini dimonetisasi dengan membuat produk turunan, seperti cinderamata, buku anak, komik, dan lain-lain.

(Baca juga: Tak Hanya Diproteksi, Kekayaan Intelektual Juga Perlu Dikapitalisasi

Kepala Bekraf Triawan Munaf mengutarakan bahwa pengembangan ekonomi kreatif ke depan ditempuh dengan monetisasi HKI. "Kalau tidak didaftarkan (HKI) tak bisa dimonetisasi karyanya. HKI juga dapat jadi jaminan untuk pendanaan dan memvaluasi bisnis," katanya.

Total pebisnis kreatif yang memiliki HKI baru 11,05% dengan kata lain 88,95% pelaku usaha belum mendaftarkan karya intelektualnya. Sebagian besar yang memiliki HKI adalah pelaku ekraf subsektor film, animasi dan video mencapai 21,08%.

Subsektor lain, yaitu kuliner sebanyak 19,75%; televisi dan radio 16,59%; penerbitan 15,86%; fesyen ada 14,14%; desain produk 11,56%; desain komunikasi visual 7,25%; musik 6,88%; kriya 6,69%; desain interior 5,45%; serta arsitektur 3,64%.