Radius Bahaya Krakatau di Luar Permukiman, BNPB Peringatkan Wisatawan

ANTARA FOTO/Bisnis Indonesia/Nurul Hidayat
Foto udara letusan gunung Anak Krakatau di Selat Sunda, Minggu (23/12). Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyampaikan telah terjadi erupsi Gunung Anak Krakatau, di Selat Sunda pada Sabtu, 22 Desember 2018 pukul 17.22 WIB dengan tinggi kolom abu teramati sekitar 1.500 meter di atas puncak (sekitar 1.838 meter di atas permukaan laut).
Penulis: Pingit Aria
27/12/2018, 09.55 WIB

Aktivitas vulkanik Gunung Anak Krakatau yang terletak di Selat Sunda terus meningkat. Untuk itu, pemerintah telah menaikkkan status Gunung Anak Krakatau dari Waspada (Level II) menjadi Siaga (Level III), dengan zona berbahaya diperluas dari 2 kilometer menjadi 5 kilometer.

Kenaikan status tersebut ditetapkan oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Gelologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan berlaku mulai Kamis (27/12) pukul 06.00 WIB.

Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Pelanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho menyatakan, dalam radius 5 kilometer tersebut tidak ada permukiman. Namun, pemerintah mewaspadai aktivitas di sekitar lokasi.

Ia menjelaskan, pada radius tersebut ada potensi dampak erupsi berupa lontaran batu pijar, awan panas dan abu vulkanik pekat. “Masyarakat dan wisatawan dilarang melakukan aktivitas di dalam radius 5 kilometer dari puncak kawah Gunung Anak Krakatau,” kata Sutopo dalam siaran pers.  

(Baca juga: Status Gunung Anak Krakatau Naik Jadi Siaga, Radius Aman 5 Kilometer)

Saat ini aktivitas letusan berupa strombolian yaitu letusan yang disertai lontaran lava pijar dan awan panas masih berlangsung. Pada Rabu (26/12) kemarin, terpantau letusan berupa awan panas dan surtseyan yaitu aliran lava atau magma yang keluar kontak langsung dengan air laut.

Awan panas itulah yang mengakibatkan adanya hujan abu vulkanik tipis jatuh di Kota Cilegon dan sebagian Serang. “Ini tidak berbahaya. Abu vulkanik justru menyuburkan tanah. Masyarakat agar mengantisipasi menggunakan masker dan kacamata saat beraktivitas di luar saat hujan abu,” kata Sutopo.

Sementara, Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG) merekomendasikan, masyarakat agar tidak melakukan aktivitas pada radius 500 meter hingga 1 kilometer dari pantai untuk mengantisipasi adanya tsunami susulan. “Tsunami bisa terjadi akibat longsor bawah laut, sebagai dampak erupsi Gunung Anak Krakatau,” kata Sutopo.

Selain itu, masyarakat juga diimbau tetap tenang dan meningkatkan kewaspadaannya. “Gunakan selalu informasi dari PVMBG untuk peringatan dini gunung api dan BMKG terkait peringatan dini tsunami selaku institusi yang resmi. Jangan percaya dari informasi yang  menyesatkan yang sumbernya tidak dapat dipertanggungjawabkan,” ujarnya.

(Baca juga:  Setelah Tsunami Selat Sunda, BMKG Minta Masyarakat Jauhi Pantai)

Sebelumnya, berdasarkan data PVMBG, Gunung Anak Krakatau aktif kembali dan memasuki fase erupsi mulai Juli 2018. Erupsi selanjutnya  berupa letusan-letusan strombolian yaitu letusan yang disertai lontaran lava pijar dan aliran lava pijar yang dominan mengarah ke tenggara.

Pada 22/12/2018 terjadi erupsi namun tercatat skala kecil, jika dibandingkan dengan erupsi periode September-Oktober 2018. Hasil analisis citra satelit diketahui lereng barat-barat daya longsor (flank collapse) dan longsoran masuk ke laut. Inilah yang diduga memicu terjadinya tsunami Selat Sunda yang menimbulkan ratusan korban jiwa di Provinsi Banten dan Lampung.