Sekitar 20 pria memperhatikan dengan saksama paparan Juliana. Di area rig, perempuan 25 tahun ini menerangkan kondisi terkini sumur minyak dan gas di Lapangan Tambakboyo, bagian dari Blok Pangkah yang terletak sekitar dua jam perjalanan dari lepas pantai Surabaya, Jawa Timur.

PT Saka Energi Indonesia, pemegang kontrak lapangan migas itu, sedang mengembangakan sumur eksplorasi ketiga untuk membuktikan cadangan energi di sana. Dan Juli, demikian dia biasa disapa, satu di antara sejumlah petugas lapangan yang bertanggung jawab atas kelancaran proyek tersebut. Dengan paparan drilling tersebut, “Supaya mereka paham overview program sumurmya,” kata Juli beberapa waktu lalu.

Hampir dua tahun ini Juli menduduki company woman, jabatan yang disandang ketika bergabung selepas lulus kuliah pada 2015. Ini adalah posisi prestisius di lapangan migas. Dia merupakan insinyur perempuan pertama di anak usaha Perusahaan Gas Negara (PGN) itu yang turun ke lapangan dan memegang kendali cukup besar di anjungan lepas pantai.

(Baca: Kemajuan Baru, Saka Mulai Bor Sumur Ketiga di Blok Pangkah)

Juli pun menjadi representasi perusahaan minyak itu. Ia mensupervisi dan memastikan operasi rig atau instalasi pengeboran berjalan sesuai program yang diberikan drilling superintendent atau engineer.

(Katadata | Hindra)

Bergabung dalam Saka Fresh Graduate Drilling Program, Juli salah satu peserta magang berprestasi yang kemudian direkrut sebagai karyawan. Dari dua perempuan yang diproyeksikan menjadi company woman, dia yang bertahan. Di sini, Juli tak hanya melaksanakan proyek demi proyek dengan baik, ia tumbuh menjadi engineer perempuan yang tangguh. Tak heran kesempatan dan promosi menyapanya.

Dia terlahir sebagai perempuan, muda, dan beretnis Tionghoa. Triple minority ini sempat membuatnya gentar menghadapi banyak tatangan. Misalnya saja sistem bekerja per dua pekan yang menjauhkannya dari keluarga—terlebih sebagai junior harus mengisi shift malam hingga pagi. Usianya yang masih belia membuat kemampuannya kerap dipertanyakan sebagai nakhoda pengendali daerah operasi.

“Menjadi satu-satunya perempuan di tengah laut dengan partner kerja yang 100 % laki-laki sempat membuat ragu. Apa aman? Apa bisa bersaing?” kata Juli, usai presentasi di hadapan para engineer service company, di rig yang akan mengebor sumur TKBY-3.

Jauh lebih senior dari dia, Frila Berllini Yaman adalah salah satu perempuan berprestasi di industri energi tanah air. Presiden Direktur PT Medco E&P Indonesia tahun 2011-2015 ini mengenang perjalanan kariernya selama puluhan tahun di industri migas. Di  sebuah diskusi bertema ‘Bond To Excel’ yang digagas Schlumberger, Frila mengisahkan awal pertamanya saat menapakkan kaki di Arco Indonesia tahun 1982.

(Baca: Dukung Ketahanan Energi, Medco Selesaikan Proyek Utama Tahun 2018)

Pada awal bekerja, hanya ada dua engineer perempuan di Arco. Untuk mendapat kesempatan yang sama, Frila harus bekerja lebih keras dan membuktikan pada manajemen karena banyaknya kompetisi. Tidak ada sistem yang melihat apakah kesetaraan gender ada atau tidak di industri, hingga hal itu menjadi isu yang mulai diperbincangkan di tahun-tahun jelang reformasi.

“Kesetaraan itu harus dimunculkan. Kalau tidak, perempuan tetap harus bekerja 2-3 kali lebih keras dari laki-laki untuk mendapat kesempatan dan gaji yang setara,” kata Frila. Bagi dia dan Juli, perempuan sebetulnya mampu bersaing dengan laki-laki karena kapasitas dan skill yang dimiliki sama.

Paling tidak hal itu bisa terlihat di PT Pertamina. Perusahaan migas pelat merah terbesar ini dipimpin Nicke Widyawati secara definitif pada akhir Agustus lalu. Jauh sebelumnya, Karen Agustiawan sempat menjadi orang nomor satu di badan usaha negara tersebut. Sementara Meidawati dilantik menjadi Direktur Utama PT Pertamina Hulu Energi 10 Desember kemarin.

Halaman: