Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mencatat telah terjadi 1.247 pelanggaran dalam tahapan Pemilihan Umum (Pemilu) 2019. Jenis pelanggaran yang paling banyak ditangani Bawaslu terkait masalah administrasi, yakni mencapai 648 kasus atau 53%.
Ketua Bawaslu Abhan mengatakan, sebanyak 331 pelanggaran berasal dari laporan masyarakat. Sementara 916 pelanggaran lainnya berasal dari pengawasan Bawaslu di 31 provinsi di Indonesia.
Terdapat tiga provinsi yang saat ini belum diinput data pelanggarannya oleh Bawaslu, yakni Maluku Utara, Papua Barat, dan Papua. "Saat ini sudah beberapa temuan dan laporan yang sudah ditangani Bawaslu," kata Abhan di Hotel Mercure, Ancol, Jakarta, Senin (10/12).
Pelanggaran pidana tercatat 90 kasus atau 7% dan pelanggaran kode etik sebanyak 84 kasus atau 7%. Kemudian, pelanggaran di luar Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sebanyak 125 kasus atau 10%. Pelanggaran itu terkait dengan netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN).
Komisioner Bawaslu Ratna Dewi Pettalolo menambahkan, dari jumlah tersebut ada 225 kasus atau 10% yang dianggap bukan pelanggaran. "Ada 5% atau 64 kasus dalam proses verifikasi Bawaslu," kata Ratna.
Bentuk pelanggaran pada tahapan verifikasi mencakup masalah syarat keanggotaan partai politik dan pembentukan Panitia Pengawas Kecamatan. Pada tahapan pencalonan, bentuk pelanggaran antara lain terkait Daftar Calon Tetap (DCT), berkas caleg tidak memenuhi syarat, adanya ASN dalam DCT, serta penggunaan ijazah dan keterangan sehat jasmani yang tidak benar.
(Baca: Distribusi Alat Peraga Pemilu Belum Menyeluruh, Bawaslu Tegur KPU)
Pelanggaran Kampanye
Pada tahapan kampanye, pelanggaran terkait Alat Peraga Kampanye (APK) tidak sesuai aturan, adanya kegiatan menguntungkan salah satu pasangan kandidat oleh pejabat negara, dan kampanye tanpa surat pemberitahuan. Lalu, tenaga honorer yang ikut membantu kegiatan partai politik, pembagian doorprize, serta pemasangan iklan di videotron.
Ada pula pelanggaran keberpihakan ASN pada calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Panitia Pemungutan Suara (PPS) turut memfasilitasi kampanye, dan kampanye di luar jadwal. Lalu, pelanggaran laporan dana kampanye dan netralitas ASN. "Dalam tahapan DPT, ada data pemilih ganda," kata Dewi.
Berdasarkan laporan, pelanggaran paling banyak terjadi di Jawa Timur sebanyak 57 kasus. Kemudian disusul Aceh sebanyak 35 kasus, Sulawesi Utara 24 kasus, Banten 20 kasus, dan Sumatera Barat 19 kasus.
Pelanggaran administrasi paling banyak terjadi di Jawa Timur mencapai 141 kasus. Kemudian disusul Sulawesi Utara 96 kasus, Jawa Tengah 68 kasus, Kalimantan Timur 41 kasus, dan Banten 37 kasus.
Sebaran pelanggaran pidana paling banyak terjadi di Sumatera Barat mencapai 12 kasus. Provinsi itu diikuti oleh Jambi 10 kasus, Sulawesi Tengah 10 kasus, Sulawesi Tenggara 9 kasus, dan Lampung 8 kasus.
Sementara itu, pelanggaran terkait netralitas ASN paling banyak terjadi di Sulawesi Utara mencapai 18 kasus. "Disusul Sulawesi Barat 16 kasus, Jawa Tengah 10 kasus, Sulawesi Tenggara 8 kasus, dan Kalimantan Selatan 7 kasus," kata Dewi.
(Baca: PA 212 Minta Bawaslu Tindak Tegas Aksi Politis di Reuni 212)