Asosiasi Jasa Pertambangan Indonesia (ASPINDO) mengeluhkan pencampuran bahan bakar biodiesel hingga 20 persen dalam program B20. Mereka menemui beberapa kendala dalam menggunakan Fatty Acid Methyl Ester (FAME) ini untuk peralatan pertambangan.
Direktur Eksekutif ASPINDO Bambang Tjahjono mengatakan kendala tersebut seperti rusaknya injector didalam mesin. Selain itu, filter harus sering diganti. Sebab, dalam mengkonsumsi B20, filter mesin sering sekali cepat kotor. “Ada keluhan filter yang tidak beres, injektor-nya bermasalah,” kata Bambang, di Jakarta, Kamis (6/12).
Belum lagi, dia melanjutkan, masalah penyimpanan B20. Jika mesin sudah diisi bahan bakar B20 namun tidak digunakan dalam waktu yang lama, bahan bakar tersebut mengendap dan membentuk jel. Ini yang menyebabkan mesin menjadi rusak. (Baca juga: Alokasi FAME untuk Program B20 Capai 6,2 Juta Kiloliter Tahun Depan).
Apalagi, B20 dinilai lebih boros dibandingkan solar. Itu berefek pada penambahan biaya yang lebih besar untuk konsumsi bahan bakar. Menurut Bambang, konsumsi B20 meningkatkan ongkos 2-5 % bahan bakar dibandingkan menggunakan solar.
Bagi Bambang, kendala tersebut terjadi bisa dipicu oleh sosiaslisasi mengenai penggunaan B20 terhadap sektor pertambangan yang belum optimal. Sehingga, informasi terkait perawatan mesin tidak tersampaikan, dan menimbulkan beberapa kendala. “Penyebabnya, perawatan yang tidak disosialisasikan ini. Selama ini dipakai saja,” kata dia.
Mendengar keluhan ini, Direktur Bioenergi Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Andriah Feby Misnah menyatakan sosialisasi belum optimal karena jangka waktu untuk mempersiapkan mendatori B20 terbilang singkat. Tapi pihaknya telah mengirim beberapa perwakilan untuk melakukan sosialisasi.
“Kalau semua dapat sosialisasi tidak mungkin juga dalam waktu pendek. Tapi perwakilannya sudah,” kata Andriah. Dari 117 anggota ASPINDO, dia melanjutkan, sekitar 50 kontraktor sudah menggunakan B20 sebagai bahan bakar alat pertambangan.
Selain masalah teknis ini, kendala pelaksanaan program B20 juga terjadi dalam pengiriman FAME. Misalnya, PT Pertamina menyatakan biaya sewa kapal untuk tangki terapung atau floating storage pembawa FAME akan dibebankan kepada produsen bahan bakar nabati. FAME ini akan digunakan sebagai campuran bahan bakar biodiesel hingga 20 persen.
(Baca: Program B20, Pertamina dan Produsen Biofuel Belum Sepakati Sewa Kapal)
Namun, Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuels Indonesia (Aprobi) Paulus Tjakrawan menyatakan pihaknya masih berunding terkait biaya sewa kapal tersebut dengan Pertamina. Aprobi meminta ongkos sewa dibagi dua dengan perusahaan pelat merah itu.
Padahal, program B20 ini digadang-gadang sebagai salah satu andalan pemerintah dalam menghemat devisa. Dengan terjaganya devisa, defisit neraca transaksi berjalan (CAD) pun diharapkan makin berkurang karena impor bahan bakar minyak (BBM) mengecil.
(Baca: 2019, Penghematan Devisa dari Program B20 Ditargetkan Rp 48,7 Triliun)