Putri dari Presiden kedua RI Soeharto, Siti Hediyati Hariyadi alias Titiek Soeharto, menilai penyitaan Gedung Granadi oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tidak tepat. Pasalnya, Gedung Granadi bukan hanya dimiliki oleh Yayasan Supersemar yang diperintahkan melakukan ganti rugi ke negara sebesar Rp 4,4 triliun.
Menurut Titiek, Gedung Granadi dimiliki oleh beberapa orang dan institusi. "Granadi ini enggak bisa disita lantaran kesalahan Yayasan Supersemar," kata Titiek di Istora, Senayan, Jakarta, Kamis (22/11).
Pemerintah seharusnya hanya menyita kepemilikan saham Yayasan Supersemar di Gedung Granadi. Dengan adanya penyitaan Gedung Granadi, Titiek menilai pemerintah dapat dituntut oleh pihak lainnya.
Lebih lanjut, Titiek menuding kasus Yayasan Supersemar muncul karena ada beberapa pihak yang tidak suka dengan Soeharto. Ia tidak mempermasalahkan jika kasus ini menyeret Soeharto. Namun, pemerintah salah sasaran jika akhirnya Yayasan Supersemar dibekukan. Pasalnya, Yayasan Supersemar telah memberikan 2 juta beasiswa hingga saat ini.
Bahkan, ia mengklaim 70% rektor universitas negeri di Indonesia merupakan penerima beasiswa Supersemar. "Karena mereka orang-orang pintar, jadi mereka dapat beasiswa Supersemar," kata Titiek.
Dengan dibekukannya Yayasan Supersemar, pihaknya tak bisa lagi memberikan beasiswa kepada masyarakat yang pintar tapi tidak mampu secara finansial. Hal tersebut sama saja mengambil hak masyarakat untuk mendapatkan pendidikan.
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sebelumnya diketahui telah menyita Gedung Granadi terkait kasus Yayasan Supersemar. Penyitaan dilakukan juga terhadap tanah dan bangunan di kawasan Megamendung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat dengan luas 300 meter persegi.
Lebih lanjut, negara telah menyita 113 rekening dan tabungan milik Yayasan Supersemar. "Kalau disetorkan ke negara, uangnya sudah Rp 240 miliar yang kami sita," kata Direktur Pertimbangan Hukum Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) Kejaksaan Agung, Yogi Hasibuan di kantornya, Jakarta, Rabu (21/11).
Kejaksaan Agung sendiri terus mengejar berbagai aset yang dimiliki Yayasan Supersemar untuk dikembalikan kepada negara. Yogi mengatakan, Kejaksaan Agung pun akan mencari aset-aset Yayasan Supersemar yang diduga berada di luar negeri.
(Baca: Kejaksaan Agung Bakal Kejar Aset Yayasan Supersemar hingga ke Luar Negeri)
Penyelewengan Dana
Kasus ini bermula saat Kejaksaan Agung menemukan penyelewengan dana beasiswa Yayasan Supersemar pada 1998. Penyelewengan dana itu diduga mengalir ke perusahaan milik anak-anak dan orang dekat mantan Presiden Soeharto mulai 1985 sampai 1998.
Padahal, dana Yayasan Supersemar merupakan uang negara karena dihimpun melalui Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1976. Ketika itu, Soeharto mewajibkan semua bank pelat merah menyisihkan 2,5% laba bersihnya untuk yayasan yang dia dirikan.
Kejaksaan Agung awalnya mengusut kasus ini secara pidana, hanya saja Jaksa Agung Andi M. Ghalib malah mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan pada 11 Oktober 1999. Andi beralasan jika tuduhan Soeharto menyelewengkan dana tersebut tak terbukti.
Pada Desember 1999, Presiden keempat RI Abdurrahman Wahid memerintahkan pengusutan dana Yayasan Supersemar dan kekayaan Soeharto lainnya kembali dibuka. Kejaksaan Agung lantas menetapkan Soeharto sebagai tersangka pada 31 Maret 2000. Perkara ini pun masuk tahap penuntutan pada Agustus 2000. Namun, persidangan berhenti di tengah jalan karena Soeharto dianggap sakit otak permanen.
Pada 9 Juli 2007, Kejaksaan Agung kembali menggugat Soeharto secara perdata. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan sebagian gugatan jaksa yang meminta menghukum Yayasan Supersemar membayar ganti rugi US$ 315 juta dan Rp 139,2 miliar. Soeharto sendiri lolos dari gugatan karena dianggap penyelewengan dana dilakukan melalui Yayasan Supersemar.
Putusan hakim itu bertahan hingga tingkat kasasi di Mahkamah Agung (MA). Hanya saja dalam putusan kasasi MA pada 2010, terdapat salah pengetikan terkait nilai ganti rugi. Pada Maret 2015 jaksa mengajukan permohonan peninjauan kembali dan dikabulkan oleh MA.
(Baca: Tinggalkan Golkar, Titiek Soeharto Pilih Jadi Oposisi Jokowi)