Badan Ekonomi Kreatif optimistis pertumbuhan PDB ekonomi kreatif 10% per tahun bisa dipertahankan. Guna merealisasikannya maka ekosistem bisnis harus terus dibenahi, salah satu strateginya dengan memperkuat kolaborasi.
Kepala Bekraf Triawan Munaf mengatakan bahwa saat ini pihaknya menaungi sebanyak 16 subsektor ekonomi kreatif (ekraf). Masing-masing subsektor memiliki ekosistem bisnis yang berbeda satu sama lain.
"Belasan subsektor ini ekosistemnya berbeda-beda. Ekraf ini ingin inklusif, artinya untuk semua orang. Maka, yang penting bagaimana bisa berkolaborasi sehingga industri kreatif kita bisa memimpin," ucapnya kepada Katadata.co.id, di Jakarta, pekan lalu.
Direktur Riset dan Pengembangan Bekraf Wawan Rusiawan mengakui, tantangan utama dalam mengembangkan ekraf adalah ekosistem. Tidak hanya ekosistem pada proses produksi tetapi juga distribusi, konsumsi, hingga konservasi karya kreatif yang dihasilkan.
Pembangunan ekosistem ekonomi kreatif terkait erat dengan kualitas sumber daya manusia (SDM) karena merekalah yang menjadi aktor utama. "Kreativitas SDM perlu didukung akses modal, infrastruktur, pemasaran, jaminan kekayaan intelektual, dan regulasi," katanya.
(Baca juga: Bekraf Bidik PDB Ekonomi Kreatif Rp 1.200 Triliun pada 2019)
Senada dengan Bekraf, stakeholder industri kreatif lain menilai bahwa peningkatan produktivitas bisnis di bidang ini sebaiknya ditempuh melalui kolaborasi. Pasalnya, pelaku usaha ekraf sebagian besar pada tataran perusahaan rintisan (startup).
Perusahaan Investor Relation Altira sempat mengutarakan, pengusaha rintisan perlu melakukan kolaborasi terutama dengan sesama startup. Sinergi dengan perusahaan yang memiliki fokus bisnis berbeda dapat membantu pengembangan bisnis masing-masing.
George E. Siregar selaku Direktur Pengembangan Bisnis dan Operasional Altira mengatakan, pihaknya berusaha menerapkan prinsip tersebut kepada para startup di Indonesia. Selain memperluas cakupan bisnis, kolaborasi juga membantu memperbesar skala bisnis mereka.
"Valuasi startup berbeda-beda yang kalau digabung untuk memroduksi suatu produk maka valuasinya bisa 20 kali lebih cepat. Kami menantang mereka untuk berkolaborasi," katanya kepada Katadata.co.id secara terpisah.
(Baca juga: Jajaki Pendanaan Baru, Valuasi Traveloka Ditaksir Capai Rp 61 Triliun)
George mencontohkan, terdapat peluang kolaborasi Medis Online Indonesia (MOI) asal Medan dengan startup dari bidang usaha lain. MOI adalah perusahaan rintisan penyedia tenaga medis, khususnya bidan dan perawat, ke berbagai wilayah di Indonesia.
MOI dinilai dapat melakukan transfer pengetahuan kepada para bidan di berbagai tempat secara efisien. Caranya melalui kolaborasi dengan startup di bidang teknologi virtual reality (VR).
Guna memastikan tercapai kesamaan pengetahuan dan pemahaman di antara MOI dengan tenaga medis bersangkutan, proses pembelajaran dapat menggunakan perangkat VR. "MOI ini memberdayakan bidang agar bisa menjangkau seluruh Indonesia," tutur George.
(Baca juga: Jokowi: Inovasi Startup Jangan Tertinggal dari Negara Lain)
Potensi bisnis sebuah perusahaan rintisan bukan orientasi utama Altira. Startup berdampak sosial luas, seperti MOI-lah yang dibidik. Sebagai investor relation, Altira menjembatani startup dengan calon investor. Terdapat tiga perusahaan yang sedang difasilitasi, dua di antaranya di bidang kesehatan dan satu lainnya terkait pendidikan.