Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan tingkat pengukuran angka kemiskinan Indonesia akan lebih rendah bila menggunakan metode Bank Dunia. BPS menggunakan metode pengeluaran per kapita berdasarkan komoditas, sedangkan Bank Dunia menggunakan metode keseimbangan kemampuan berbelanja (Purchasing Power Parity).
Kepala BPS Suhariyanto menyatakan untuk menentukan masyarakat kategori miskin, BPS mengenakan batasan pengeluaran sebesar Rp 401.220 ribu per bulan, menurut hitungan September 2018. "Ini adalah pendapatan per kapita, rata-rata keseluruhan," kata Suhariyanto di Jakarta, Rabu (31/10).
Menurutnya, kritik yang pernah dilontarkan Rizal Ramli tentang data BPS tentang pengeluaran harian penduduk miskin sebesar Rp 13 ribu dinilai tidak valid. Sebab, dia tidak membandingkan data pengeluaran masyarakat antardaerah.
(Baca: Didorong Bansos, Penurunan Kemiskinan dan Ketimpangan Disebut “Semu”)
Seperti, garis kemiskinan di DKI Jakarta sekitar Rp 3 juta per bulan, tidak terlampau jauh dengan Upah Minimum Pegawai Rp 3,6 juta. Sedangkan di Nusa Tenggara Timur, garis kemiskinannya Rp 2,12 juta, masih di atas UMP di NTT.
Karenanya, dia menekankan data tak boleh disalahgunakan tanpa telaah yang dalam. "Tantangannya adalah bagaimana kita mengkomunikasikan garis kemiskinan kepada masyarakat," ujar Suhariyanto.
Berdasarkan metode Purchasing Parity Power milik Bank Dunia, batas miskin yaitu apabila pengeluaran masyarakat sebesar US$ 1,9. Sehingga, jika Indonesia mengkonversikan penghitungan angka kemiskinan dengan metode tersebut, nilainya masih di atas standar US$ 2,5.
(Baca juga: BPS: Bantuan Pangan Non-Tunai Tekan Angka Kemiskinan di Bawah 10%)
Deputi Bidang Statistik Sosial BPS Margo Yuwono mengungkapkan angka kemiskinan paling parah Indonesia hanya sebesar 4,6% jika menggunakan metode Bank Dunia. Padahal, penghitungan BPS dengan metode BPS pengeluaran dan komoditas garis kemiskinan bisa mencapai 9,6%.
Namun, jika menggunakan metode penghitungan Bank Dunia mengacu pada standar kemiskinan moderat dengan batasan US$ 3,2, maka angka kemiskinan di Indonesia mencapai 24%. "Kami harus menentukan rujukan yang tepat untuk penghitungan angka kemiskinan," kata Margo.
Menurutnya, BPS selalu memperhatikan perkembangan dalam menghitung angka kemiskinan sesuai dengan kajian empiris. Metode penghitungan kemiskinan berdasarkan pengeluaran telah digunakan selama 20 tahun sejak 1998.