Tak Hanya Produk Fesyen Tenun, Sosok Perajin Juga Perlu Disorot

Dini Hariyanti|Katadata
Seorang perempuan sedang mendemonstrasikan proses membuat kain tenun. Aktivtas ini berlangsung bersamaan dengan Wallacea Week 2018, di Perpustakaan Nasional RI, Jakarta.
Penulis: Dini Hariyanti
15/10/2018, 18.39 WIB

Atensi para desainer fesyen terhadap kain kedaerahan, seperti tenun, membantu menggairahkan semangat berkarya para perajin. Tapi, seiring produk fesyen yang mendunia maka sosok penenun dan sisi historis karyanya juga perlu turut disorot.

Voni Novita selaku Pendiri Rumah Kerajinan Bife menuturkan bahwa pihaknya menginginkan agar dalam memasarkan produk fesyen maka desiner juga perlu memperkenalkan sosok penenun beserta budaya asli daerah mereka. 

"Kain tenun ini oleh para mama (penenun) dikerjakan sepenuh hati. Desainer harus menyebutkan sosok si penenun dan proses pembuatan. Supaya si pembeli bisa mendapatkan semua perasaan dari si penenun," tuturnya kepada Katadata.co.id, di Jakarta, Senin (15/10).

(Baca juga: Tenun Ikat Rancangan Didiet Maulana Mejeng di Rapat Tahunan IMF)

Bife adalah rumah kerajinan yang didirikan Voni pada 2012 untuk memperluas pasar kain tenun khas Nusa Tenggara Timur (NTT). Bife bekerja sama dengan puluhan komunitas tenun khususnya yang berada di Desa Molo, NTT.

Voni menjelaskan, para penenun lazimnya hanya memproduksi kain sarung atau selimut. Bife mencoba mengkreasikan kain ini menjadi berbagai produk turunan yang bernilai tambah, seperti aksesoris, buku, tas, dompet, dan lain-lain.

Produksi barang-barang tersebut relatif terbatas karena proses pembuatan kain tenun juga manual. Sebagai contoh, selimut dengan motif tenun yang relatif sederhana membutuhkan waktu sekitar tiga bulan. Semakin rumit motif maka proses produksinya semakin lama.

"Pada umumnya, kain tenun ini bisa diaplikasikan untuk desain-desain fesyen modern, seperti gaun. Sekarang ini orang-orang memang seleranya kembali ke etnik," tutur Voni.

Harga jual produk dengan sentuhan tenun yang dipasarkan Bife bervariasi tergantung jenis produknya. Aksesoris kalung, misalnya, dibanderol mulai dari Rp 400.000 per piece, sedangkan buku agenda ada yang seharga puluhan bahkan ratusan ribu rupiah.

Pendapatan dari produk yang terjual sebagian didonasikan kembali untuk perajin tenun. Bentuknya tidak harus uang, dapat pula berupa pelatihan khusus untuk penenun guna mengoptimalkan kapasitas produksi mereka.

"Bagi perempuan, khususnya di Desa Molo, menenun adalah identitas bagi mereka. Kain tenun ini bisa mengidentifikasi identitas garis keturunan mereka," kata Voni.

Pameran dan demo menenun di Perpustakaan Nasional RI yang berlangsung sampai 17 Oktober 2018 bersamaan dengan Wallacea Week 2018. Acara ini fokus menyoroti temuan sejarah dari daerah Wallacea atau kawasan timur Indonesia, baik dari segi budaya maupun kekayaan alam.

(Baca juga: Penjelajahan Wallace di Nusantara Layak Digarap Jadi Wisata Ilmiah