Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyebut Perum Bulog belum melakukan perencanaan dengan baik program pergerakan nasional dalam rangka penerbitan perintah logistik. Akibatnya, BUMN pelat merah itu masih mengalami inefisiensi biaya pengangkutan beras sebesar Rp 5,05 miliar pada tahun lalu.
Hal itu diketahui berdasarkan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I 2018 yang dirilis Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Dalam ikhtisar tersebut, BPK juga menemukan kekurangan volume dan spesifikasi beras pada 17 paket pekerjaan Rehabilitiation and Replacement sebesar Rp 572,33 juta dan denda keterlambatan mencapai Rp 14,94 juta. Kemudian, ada juga kelebihan pembayaran atas realisasi pembayaran honor tim beras sejahtera (Rastra) mencapai Rp 564,03 juta dan permasalahan lain mencapai Rp 181,70 juta.
(Baca : BPK : Kementan Belum Lunasi Pengadaan Beras Bulog 2017 Rp 370 Miliar)
Direktur Operasional dan Pelayanan Publik Bulog Tri Wahyudi Saleh menyatakan program movement nasional atau pergerakan nasional telah direncakan selama satu tahun. "Kami selalu melakukan perencanaan tahunan, secara nasional ataupun regional," kata Tri kepada Katadata, Selasa (2/10).
Meski begitu, Tri mengaku ada situasi tertentu yang berada di luar kuasa Bulog. Contohnya, panen besar di wilayah Mamuju, Sulawesi Barat, tahun lalu yang membuat Bulog harus menggeser lokasi penyimpanan beras ke daerah lain. "Pada praktiknya tidak selalu sesuai dengan rencana kami," ujar Tri.
(Baca : Stok Melimpah, Bulog: Tak Perlu Impor Beras hingga Juni 2019)
Bulog telah mendapatkan sanksi berupa teguran dari penanggung jawab dan pelaksana kegiatan, penyusunan dan penyempurnaan prosedur yang diperlukan. Tri menjelaskan pihaknya akan menjalankan rekomendasi dari BPK dengan meningkatkan pengawasan pengendalian kegiatan operasional perusahaan.