Keputusan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mencabut semua izin prinsip pulau-pulau reklamasi membuat nasib proyek di Teluk Jakarta tersebut tamat. Operasional 13 pulau buatan di sana berhenti.
Pencabutan ini didasarkan pada rekomendasi Badan Koordinasi Pengelolaan Reklamasi Pantai Utara Jakarta. Badan yang dibentuk melalui Peraturan Gubernur Nomor 58 Tahun 2018 itu telah memverifikasi dokumen perizinan hingga kegiatan reklamasi di Teluk Jakarta. Menurut Anies, reklamasi bagian dari sejarah, tapi bukan bagian dari masa depan Jakarta.
(Baca juga: Gubernur Anies Cabut Seluruh Izin Reklamasi Teluk Jakarta)
Walau hanya didasarkan pada rekomendasi Badan Pengelola Reklamasi, pengamat tata kota dari Universitas Trisakti Yayat Supriatna menilai posisi Anies cukup kuat di mata hukum jika ada yang mempermasalahkannya. Sebab, bila di runut ke atas, keputusan itu berlandaskan pada Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta.
Melalui aturan tersebut, Anies sebagai gubernur memiliki otoritas dalam membuat keputusan mengenai pembangunan reklamasi. “Posisinya seperti pantun putus cinta, “kau yang mulai, kau yang mengakhiri”. Otoritas ada di tangan gubernur,” kata Yayat ketika dihubungi Katadata.co.id, Jumat (28/9).
Yayat menilai Anies memiliki pertimbangan kesalahan prosedur pemberian izin ketika mengeluarkan keputusan tersebut. Sebab, selama ini belum ada Peraturan Daerah (Perda) tentang Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZPW3K).
Ketiadaan Perda RZPW3K tersebut membuat izin-izin yang telah dikeluarkan selama ini rawan indikasi korupsi dan penyimpangan. “Sekarang Pak Anies menertibkan semua dulu, nanti dikeluarkan perda tentang zonasi yang baru,” kata Yayat. (Baca juga: Anies Cabut Izin Reklamasi, Menteri PUPR: Tanggul Laut Terus Jalan).
Sementara itu, Guru Besar bidang Hukum Tata Negara di Fakultas Hukum Universitas Parahyangan Asep Warlan Yusuf mengatakan Anies mestinya memiliki pertimbangan kuat ketika mencabut 13 izin prinsip proyek reklamasi, baik secara yuridis maupun teknis. Anies tak mungkin gegabah memutuskan hal tersebut hanya dengan alasan popularitas.
Sebab, banyak pihak yang dirugikan dari sisi investasi, teknologi, hingga waktu yang terabaikan akibat pencabutan izin tersebut. Karena itu ada kemungkinan pengembang keberatan dan siap menggugat atas keputusan Anies. “Konyol kalau dia tidak cukup kuat argumentasi yuridis dan teknisnya. Berisiko betul karena ini menyangkut uang besar yang teralokasi di situ,” kata Asep.
Sejauh ini, sebagian pengembang memang pasrah terhadap keputusan Anies, terutama dari badan usaha milik daerah (BUMD). PT Jakarta Propertindo (JakPro), misalnya, akan mematuhi kebijakan tersebut. Jakpro merupakan salah satu pengembang yang terlibat dalam proyek reklamasi. Terdapat dua pulau yang dikelola oleh JakPro, yakni Pulau O dan F. “Tidak akan menggugatnya.” kata Corporate Secretary JakPro Hani Sumarno ketika dihubungi Katadata.co.id, Kamis (27/9).
Hani tak menampik ada konsekuensi kerugian dari dihentikannya izin reklamasi. Namun, di sisi lain, sebenarnya JakPro juga diuntungkan. Misalnya, tak perlu susah payah mencari investor untuk pembangunan pulau. (Baca: Anies Cabut Izin Reklamasi Teluk Jakarta, Sebagian Pengembang Pasrah)
Hal serupa juga disampaikan Corporate Secretary PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk Agung Prapono. Menurutnya, Ancol akan mengikuti aturan yang berlaku.Sebagai (BUMD), PT Pembangunan Jaya tak akan mengajukan gugatan hukum. “Kami pasti ikuti aturan. Dari awal ada moratorium, kami ikut juga,” kata Agung.
Meski demikian, peluang Anies untuk digugat oleh beberapa pengembang lainnya masih terbuka. Misalnya para pengembang swasta yang sudah merealisasikan pembangunan di tiga pulau reklamasi.