Sebuah mobil melaju kencang melintasi jalan yang mendaki antara jurang dan tebing. Di ujung jalan di sebuah puncak, mobil tersebut berhenti. Seorang laki-laki kemudian keluar dari kursi pengemudi, disambut seorang perempuan entah dari mana datang menghampiri.
Itu adalah sebuah potongan iklan di televisi tentang sebuah mobil. Meski ingin menonjolkan performa kendaraan, pariwara itu tetap menampilkan sosok perempuan.
Bukan hal baru bahwa perempuan dan tubuhnya kerap ditampilkan dalam sebuah iklan, termasuk potongan pariwara mobil. Hal itu diungkapkan oleh Dra. Sarah Santi, dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Esa Unggul . Selain menjadi objek pembawa pesan iklan, Sarah memaparkan, perempuan memiliki peran lain dalam industri periklanan, yakni sebagai praktisi dan sebagai konsumen target dari iklan itu sendiri.
Praktisi periklanan Woro Astuti mengungkapkan industri periklanan menempatkan perempuan setara dengan laki-laki.
“Industri iklan sudah lebih maju, tidak sekonservatif industri lain. Di level top management juga banyak perempuannya,” lanjut Woro kepada Tim Riset Katadata.
Menurut praktisi iklan Miranti Abidin, feminisme industri iklan tak lepas dari konsekuensi gerakan perempuan yang berkembang di banyak negara sekaligus yang berhasil menempatkan posisi perempuan di level atas.
Perempuan sebagai Obyek Iklan
Meskipun sebagai pelaku industri iklan perempuan sudah diperlakukan setara, tidak demikian halnya sebagai pembawa pesan atau obyek dalam iklan. Peran perempuan sebagai model, bintang iklan, atau endorser kerap memunculkan bias gender, sekaligus memperkuat stereotip khas patriarki.
Seksualitas perempuan pun dijadikan sebagai komoditas. Banyak produk yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan tubuh perempuan namun menampilkan sisi sensualitas perempuan dalam iklannya.
Iklan minuman ringan, misalnya, menampilkan seorang artis seksi dengan busana ketat dan potongan leher rendah. Woro mengakui produk pariwara semacam itu menyasar kalangan bawah, khususnya laki-laki, yang rupanya masih mengandalkan sensualitas perempuan sebagai strategi jualan.
Namun dalam perkembangannya, iklan dengan eksploitasi tubuh perempuan semacam ini mulai dihindari para pemilik merek. “Klien-klien saya sekarang nggak mau iklannya terlalu menonjolkan badan perempuan,” tutur Woro.
Meski demikian tak bisa dipungkiri bahwa standar perempuan dalam periklanan Tanah Air masih sama: berambut panjang, lurus, berkulit terang, dan bertubuh langsing. Menurut Woro, meski sejumlah iklan mulai tak lagi menonjolkan fisik perempuan, masih banyak pariwara lainnya yang memakai perempuan dengan tampilan kulit puth dan tubuh langsing.
“Harus dilihat persepsi kecantikan produk mereka sendiri. Contoh salah satu iklan kosmetik internasional yang secara strategi lebih ke women empowerment, tapi iklan mereka masih menggunakan perempuan berkulit putih,” kata Woro.
“Kita di Indonesia bisa mendorong klien mereka di Tanah Air untuk mengubah image itu, tapi kalau global atau markas mereka di luar negeri tidak mau, bagaimana?” lanjutnya.
Perempuan sebagai Target Konsumen
Selain itu, yang masih menjadi pekerjaan rumah adalah, perempuan kerap sebagai target konsumen. Menurut Sarah Santi, iklan sering kali mendukung pembagian kerja secara seksual bahwa peran laki-laki adalah pencari nafkah sementara peran perempuan ditransformasikan ke dalam peran domestiknya.
Peran domestik adalah citra sosial perempuan seperti membuat makanan yang menggugah selera seluruh anggota keluarga, mengurus anak dengan baik, menghias rumah dan mempercantik tubuh dan wajah sekaligus.
Stereotip inilah yang kemudian mengkotak-kotakkan gender dalam iklan. Iklan mobil, misalnya, selalu menempatkan pria di kursi pengemudi sedangkan perempuan lebih sering ditampilkan sebagai obyek pemanis atau pemikat laki-laki.
Sementara itu produk yang berkaitan dengan pekerjaan domestik selalu menyasar kaum perempuan sebagai “ratu rumah tangga”.
“Lalu harus bagaimana? Yang harus dilakukan adalah membangun kesadaran konsumen baik perempuan maupun laki-laki agar tidak terjebak upaya eksploitasi kapitalisme, juga membangun kesadaran kita semua agar perempuan tidak lagi menjadi obyek,” tulis Sarah.
Cara lain untuk mengubah paradigma kesadaran gender dimulai dari perusahaan besar. Tujuannya agar bisa diikuti produsen lainnya.
Salah satu perusahaan besar yang mengubah kesadaran gender adalah Microsoft. Dikutip dari Tirto dalam artikelnya berjudul Iklan-iklan yang Menggugah Perasaan (Mei 2017), perusahaan besutan Bill Gates menghadirkan kampannye #MakeWhatsNext bagi anak-anak perempuan untuk bergabung dalam memperbaiki dunia.
Microsoft mendorong anak perempuan untuk belajar menjadi ilmuwan dengan mengambil jurusan di bidang Matematika, Sains Teknologi, Fisika, dan Teknik. Aksi itu menuai pujian karena mendorong anak-anak perempuan untuk mendapatkan akses pendidikan yang setara dengan anak laki-laki.
This article was produced in partnership with Investing in Women, an initiative of the Australian Government that promotes women’s economic empowerment in South East Asia.