Bolong-bolong pada Membaiknya Pembangunan Berkelanjutan

Arief Kamaludin|Katadata
Penulis: Dimas Jarot Bayu
20/9/2018, 18.10 WIB

Tujuan pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) selalu menjadi indikator yang menentukan. Tahun ini, Menteri Perencanaan dan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Brodjonegoro mengatakan kinerja Indonesia untuk mencapainya cukup baik, meski kecepatannya bervariasi. Bahkan, ada beberapa indikator yang masih berjalan di tempat.

Klaim tersebut didasarkan pada posisi Indonesia yang menempati peringkat 99 dari 156 negara dalam peringkat SDG global. Peringkat ini naik satu poin dibandingkan posisi 2017. Berdasarkan data Global SDGs Index 2018, skor Indonesia mencapai 62,8. Ada pun skor rata-rata regional Indonesia sebesar 64,1.

Bambang mencontohkan, pemerintah berhasil meningkatan kesejahteraan yang menjadi salah satu tujuan SDGs. Hal ini dapat dilihat dari penurunan angka kemiskinan di bawah satu digit atau 0,83% dalam setahun terakhir. (Baca: Kepala Bappenas: Kemiskinan Turun Tak Hanya Karena Bansos)

Selain itu, prevalensi stunting pada anak di bawah umur dua tahun turun secara signifikan. Hal lainnya, pemerintah mengklaim berhasil menurunkan angka kematian ibu dari 346 kematian per 100 ribu kelahiran pada pada 2010 menjadi 305 kematian pada 2015 per 100 ribu kelahiran. Sementara akses pendidikan dasar dan menengah terbuka lebar melalui program wajib belajar 12 tahun dan penyediaan Kartu Indonesia Pintar.

Selain itu, kecenderungan perkawinan anak dengan usia di bawah 15 tahun sudah menurun. “Penurunan emisi pada 2017 juga mencapai 13,47 %,” kata Bambang di Hotel Aryaduta, Jakarta, Kamis (20/9).

Walau sejumlah indikator memperlihatkan perbaikan, ada beberapa bolong yang mesti diperbaiki. Setidaknya, beberapa faktor masih berjalan di tempat. Bambang pun mengakui masih terdapat beberapa hal yang angkanya stagnan sehingga meminta agar tidak berpuas diri.

Saat ini, misalnya, masih ada satu dari tiga anak Indonesia di bawah umur lima tahun yang mengalami stunting. Angka kematian bayi juga masih tinggi karena cakupan imunisasi masih rendah. Penolakan masyarakat pada imunisasi dasar menjadi kompleksitas yang menghambat upaya mengatasi masalah tersebut.

Menurut Bambang, Indonesia juga memiliki persoalan terkait kualitas pendidikan. Berdasarkan Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia pada 2016, kompetensi siswa Indonesia untuk mata pelajaran sains, membaca, dan matematika cukup rendah.

(Baca juga: Bappenas Catat Beberapa Target Pembangunan 2019 Sulit Tercapai)

Sementara perkawinan anak di bawah usia 18 tahun belum beranjak dari persentase 23 persen. Kemudian, proporsi penduduk usia 15-29 tahun yang tidak bersekolah, tidak bekerja, atau dalam pelatihan proporsinya masih cukup tinggi. “Lalu, transformasi terkait peran industrialisasi hingga kini belum menggembirakan. Industri atau manufaktur terus tumbuh, namun berada di bawah pertumbuhan ekonomi,” tambah dia.

Karenanya, Bambang meminta partisipasi berbagai pihak untuk mencapai tujuan SDGs. Pemerintah tak bisa hanya bekerja sendiri karena pencapaian yang ditargetkan selesai 2030 itu tidak mudah. Perlu peran organisasi masyarakat, pelaku usaha, filantropi, akademisi dan pakar agar berbagai program yang diinisiasi pemerintah dapat semakin optimal.