Pemerintah Prediksi Defisit BPJS Kesehatan Rp 10,98 Triliun pada 2018

ANTARA FOTO/Jojon
Pasien peserta BPJS didorong keluarganya menggunakan kursi roda usai pemeriksaan di RS Bahteramas, Kendari, Sulawesi Tenggara, Senin (13/3/2017).
Penulis: Dimas Jarot Bayu
Editor: Yuliawati
17/9/2018, 19.09 WIB

Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo memprediksikan defisit keuangan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)  Kesehatan pada 2018 mencapai Rp 10,98 triliun. Jumlah ini berdasarkan audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

Defisit ini lebih kecil dari perkiraan BPJS Kesehatan sebesar Rp 16,58 triliun. Rinciannya, proyeksi defisit sesuai Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan (RKAT) 2018 sebesar Rp 12,1 triliun.

Angka itu ditambah defisit yang belum teratasi (carry over) tahun lalu sebesar Rp 4,4 triliun. Namun, BPJS Kesehatan belum memasukkan bauran kebijakan pemerintah untuk menambal defisit tersebut sehingga terdapat selisih Rp 5,6 triliun.

"Setelah BPKP melakukan review, defisit BPJS Kesehatan 10,989 triliun," kata Mardiasmo di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (17/9).

(Baca juga: Pemerintah Tunggu Hasil Audit untuk Talangi Defisit BPJS Kesehatan)

Direktur BPJS Kesehatan Fachmi Idris mengatakan, defisit itu terjadi lantaran rendahnya iuran dari peserta BPJS. Dalam perhitungan aktuaria Dewan Jaminan Sosial Negara (DJSN), premi penerima bantuan iuran seharusnya mencapai Rp 36 ribu per bulan.

Sementara, aturan pemerintah menetapkan premi PBI hanya sebesar Rp 23 ribu per bulan. Dengan demikian, terdapat selisih sebesar Rp 13 ribu dari jenis premi PBI.

Dari perhitungan aktuaria DJSN, premi peserta bukan penerima upah (PBPU) untuk kelas I sebesar Rp 80 ribu per bulan, PBPU kelas II sebesar 63 ribu per bulan, dan PBPU kelas III sebesar Rp 53 ribu per bulan.

Sementara dalam aturan pemerintah, PBPU kelas I sebesar Rp 80 ribu per bulan, PBPU kelas II sebesar 51 ribu per bulan, dan PBPU kelas III sebesar Rp 25,5 ribu per bulan.

(Baca juga: Jokowi Putuskan Tambal Defisit BPJS Kesehatan Pakai APBN)

Untuk Peserta Penerima Upah (PPU), dalam perhitungan aktuaria DJSN mereka mendapatkan potongan upah hingga 6%. Batas atas upah untuk PPU yakni enam kali Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP) K/1.

Dalam aturan yang ditetapkan pemerintah, potongan upah bagi PPU hanya sebesar 5% dengan batas atas upah sebesar Rp 8 juta. "Kondisi besaran iuran ini menyebabkan biaya per orang per bulan lebih besar dibanding premi per orang per bulan.

Tak hanya itu, besarnya defisit lantaran masih banyak peserta BPJS Kesehatan yang tidak aktif membayar iuran. Ketua DJSN Sigit Priohutomo mengatakan, jumlah peserta tidak aktif BPJS Kesehatan hingga Juni 2018 mencapai 17,37 juta dari total 199 juta.

Rinciannya, jumlah PPU mencapai 2,8 juta jiwa, PBPU sebesar Rp 13,52 juta, peserta bukan pekerja tidak aktif mencapai 51,8 ribu, dan peserta yang terintegrasi dengan Jamkesda sebesar 923,7 ribu.

"Ini belum bisa ditarik preminya. Kalau ini diaktifkan, bisa Rp 800 miliar per bulan pemasukan yang bisa dicapai," kata Sigit. 

(Baca juga: Pembiayaan BPJS Terbesar untuk Tindakan Operasi Ringan