Mantan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri (Ekuin) Dorodjatun Kuntjoro Jakti diduga ikut terlibat dalam kasus korupsi penerbitan surat keterangan lunas utang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Namanya kembali disebut dalam berkas tuntutan mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temengggung.
Dorodjatun diduga bersama Syafruddin menghilangkan hak tagih negara atas piutang BLBI pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim sebesar Rp 4,58 triliun. Syafruddin sendiri dituntut dengan hukuman penjara selama 15 tahun dan didenda Rp 1 miliar subsider enam bulan kurungan dalam kasus BLBI.
Berdasarkan analisis Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (JPU KPK), keterlibatan Dorodjatun dimulai dari ditetapkannya Surat Keputusan Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) Nomor Kep.01/K.KKSK/05/2002 tanggal 13 Mei 2002.
(Baca juga: Mantan Kepala BPPN Dituntut 15 Tahun dalam Kasus Dugaan Korupsi BLBI)
Keputusan itu menyatakan mengembalikan aset piutang petambak udang PT Dipasena Citra Darmadja (PT DCD) dan PT Wachyuni Mandira (PT WM) dari divisi litigasi ke program penjualan Aset Manajemen Kredit (AMK).
Keputusan Dorodjatun tersebut kemudian ditindaklanjuti Syafruddin dengan cara memberikan instruksi melalui memo Nomor M-005/SAT/BPPN/0502 tertanggal 21 Mei 2002. JPU KPK Khaeruddin mengatakan, pengalihan aset piutang dari divisi litigasi ke divisi penjualan aset AMK telah mengubah status Sjamsul sebagai obligor BLBI yang kooperatif.
"Padahal sebelumnya Sjamsul Nursalim beberapa kali menolak dan tidak mau melaksanakan SK KKSK terkait unsustainable debt petambak udang," kata Khaeruddin ketika membacakan surat tuntutan Syafruddin di di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (3/9).
(Baca juga: Sjamsul dan Dorodjatun Ada dalam Dakwaan Kasus BLBI Eks Kepala BPPN)
Selain itu, Dorodjatun diduga mengetahui bahwa piutang petambak udang yang digunakan Sjamsul macet atau misrepresentasi. Dinyatakan dalam kajian dari firma hukum Lubis Ganie Surowidjojo (LGS) yang mengaudit piutang Sjamsul.
Kajian LGS kemudian diadopsi tim bantuan hukum (TBH) KKSK. Selanjutnya, TBH KKSK menyampaikan masalah misrepresentasi ini kepada Dorodjatun dan Syafruddin pada 29 Mei 2002.
Meski tahu ada misrepresentasi, Dorodjatun bersama Syafruddin tetap mengusulkan penghapusbukuan utang petambak sebesar Rp 2,8 triliun kepada Presiden kelima RI Megawati Soekarnoputri. Usulan itu disampaikan keduanya ketika menghadiri Rapat Kabinet Terbatas di Istana Negara, Jakarta pada 11 Februari 2004.
"Ketika menyampaikan usulan itu, terdakwa (Syafruddin) tidak melaporkan bahwa Sjamsul Nursalim melakukan misrepresentasi," kata jaksa.
(Baca juga: Eks Kepala BPPN Pertanyakan Status Hukum Dorodjatun & Sjamsul Nursalim)
Dari penyampaian usulan tersebut, Megawati tidak memberikan keputusan dan persetujuannya. Meski demikian, Syafruddin tetap mengirimkan Ringkasan Eksekutif BPPN kepada Dorodjatun pada 12 Februari 2004 untuk penghapusbukuan utang petambak senilai Rp 2,8 triliun.
Dengan berpedoman pada ringkasan eksekutif BPPN, Dorodjatun pada 13 Februari 2004 kemudian menandatangani Keputusan No. KEP. 02/K.KKSK/02/2004. Keputusan itu menyetujui nilai utang masing-masing petambak plasma ditetapkan setinggi-tingginya sebesar Rp 100 juta.
Dengan penetapan nilai utang maksimal tersebut, maka sebagian utang pokok dihapuskan secara proporsional sesuai beban utang masing-masing petambak plasma. Selain itu, seluruh tunggakan bunga serta denda dihapuskan. Keputusan KKSK sebelumnya yang memerintahkan porsi utang unsustainable ditagihkan ke Sjamsul dan dialihkan ke PT DCD pun dinyatakan tidak berlaku.
"Sehingga mengakibatkan hilangnya hak tagih negara dalam hal ini BPPN kepada Sjamsul Nursalim," kata jaksa.
Pada 17 Maret 2018, Syafruddin dan Dorodjatun menggelar rapat bersama antara BPPN dengan KKSK yang membahas Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS). Usai rapat tersebut, KKSK mengeluarkan Keputusan Nomor 01/K.KKSK/03/2004 yang isinya antara lain menyetujui pemberian bukti penyelesaian perjanjian pemegang saham oleh Ketua BPPN berupa pelepasan dan pembebasan kepada Sjamsul.
Atas dasar itu, Syafruddin bersama Sjamsul yang diwakili istrinya, Itjih S Nursalim pada 12 April 2004 menandatangani akta perjanjian penyelesaian akhir No. 16. Akta tersebut menyatakan bahwa Sjamsul telah melaksanakan dan menyelesaikan seluruh kewajibannya sebagaimana telah diatur dalam MSAA.
Kemudian tanggal 26 April 2004, Syafruddin menandatangi surat SKL-22/PKPS-BPPN/0404 perihal PKPS kepada Sjamsul Nursalim sebesar Rp 28,4 triliun. "Sehingga mengakibatkan hak tagih utang petambak pada Dipasena menjadi hilang," kata jaksa.