Produsen Biodiesel Masih Hadapi Kendala dalam Penerapan B20

Arief Kamaludin | Katadata
Biodiesel murni dan campuran solar dengan kadar 10 dan 20 persen.
Penulis: Michael Reily
Editor: Ekarina
30/8/2018, 21.03 WIB

Kewajiban pencampuran 20% minyak nabati ke dalam bahan bakar solar atau mandatori B20 akan mulai berlaku dalam hitungan hari. Namun demikian, penerapan mandatori B20 agaknya belum sepenuhnya berjalan mulus karena masih ada sejumlah kendala, salah satunya pada proses distribusi. 

Asosiasi Produsen Biofuels Indonesia (Aprobi) menyatakan masih ada beberapa kendala dalam penerapan mandatori biodiesel 20% (B20) dari sektor Public Service Obligation (PSO) ke non-PSO.

Ketua Harian Aprobi Paulus Tjakrawan menjelaskan pemetaan proses distribusi biodiesel baru mencapai 87% terkait penyebarannya ke seluruh wilayah Indonesia. “Masing-masing tempat mempunyai permasalahan yang spesifikasinya berbeda,” kata Paulus di Jakarta, Kamis (30/8).

Seperti pada proses pendistribusian dari Sibolga, Sumatera Utara ke Pulau Nias yang masih memiliki keterbatasan jumlah Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (ASDP). Sementara itu, pada Pelabuhan di Lampung ada sistem yang membuat kapal antre sehingga dapat memperlambat waktu distribusi.

(Baca : Jelang Penerapan B20, Hanya Dua dari 11 Perusahaan yang Teken Kontrak)

Paulus juga menyebutada kendala pengiriman ke wilayah yang sulit terjangkau seperti ke Maumere, Nusa Tenggara Timur, termasuk jua di antaranya penyaluran kebutuhan B20 ke wilayah perbatasan atau kawasan berikat (bonded zone). .

“Mereka saja harus menggunakan solar impor, yang mana ongkos kirimnya bisa mencapai Rp 35 ribu per liter,” ujarnya.

Selain itu, kondisi cuaca dan ombak besar  juga bisa memperlambat waktu pengiriman. Namun, Aprobi yakin penerapan mandatori B20 bisa tetap berjalan, meskipun secara bertahap.

Untuk menghadapi permasalahan teknis dalam logistik, produsen biodiesel telah bertemu dengan PT ASDP Ferry Indonesia, PT Pelindo, serta Direktorat Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan.

Paulus menuturkan semua pihak telah menyetujui untuk memprioritaskan B20 dalam proses pengiriman. PT Pertamina juga telah berkomitmen untuk membantu proses distribusi.

Tak hanya itu, menurutnya pihak produsen pun ikut menawarkan bantuan penyewaan kapal di daerah strategis untuk mempermudah  prodoses pendistribusian biodiesel oleh Pertamina. Sebab, jika  Pertamina membangun gudang penyimpanan baru, maka bisa memakan waktu minimal enam bulan.

“Kami  bekerja sama supaya tidak kena denda,” kata Paulus.

(Baca: Pertamina Kekurangan Pasokan Minyak Nabati untuk Penerapan B20)

Karenanya, sebagai salah satu solusi untuk mengakomodir sebagian wilayah yang belum terdistribusi B20 akan diselesaikan secara bertahap. Meski begitu, dia tidak menargetkan kapan persoalan distribusi tersebut rampung sepenuhnya.

Namun, Paulus mengakui hingga saat ini belum ada petunjuk teknis terkait penyelesaian kendala yang menyebabkan pelaksanaan mandatori B20 terhambat. Tim pengawas juga belum memiliki pedoman pengawasan. Meski begitu, produsen biodiesel harus memberikan laporan setiap bulan.

Aturan turunan dari Peraturan Presiden Nomor 66 tahun 2018 tentang Revisi atas Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit juga menetapkan produsen biodiesel berbasis minyak kelapa sawit melalui penunjukkan langsung.

Berbeda dari sebelumnya sebagaimana mengacu pada Permen ESDM 45/2017, produsen biodiesel harus mendaftarkan diri dan memberikan usulan untuk mendapatkan persetujuan sebagai penyedia BBN untuk menggunakan dana BPDP Kelapa Sawit. Itu pun setelah penilaian dan evaluasi menghasilkan rekomendasi.

Setelah menyelesaikan kewajiban penyediaan alokasi volume bahan bakar nabati dari penyedia biodiesel kepada penyalur bahan bakar, badan usaha bahan bakar nabati kemudian akan mendapatkan pembiayaan dana dari BPDP Kelapa Sawit.  Pencairan dana akan terjadi paling lambat satu bulan setelah verifikasi.

Selain itu, ada juga sanksi administratif berupa denga Rp 6 ribu per liter dan pencabutan izin usaha bagi yang tidak mencampur 20% BBN ke BBM. Sanksi itu berlaku bagi produsen BBN ataupun penghasil BBM.  

Akan tetapi, Badan Usaha BBM tidak akan dikenakan sanksi jika ada keterlambatan, keterbatasan, dan/atau ketidakadaan pasokan BBN Jenis Biodiesel dari Badan Usaha BBN Jenis Biodiesel. Badan usaha juga akan bebas sanksi kalau ada ketidaksesuaian pasokan BBN jenis Biodiesel dengan kualitas yang disepakati dalam kontrak.

Namun, pengawasan kewajiban kedua jenis badan usaha akan dilakukan oleh tim pengawas yang terdiri dari Kementerian ESDM, Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas, dan BPDP Kelapa Sawit. Pasal 24 juga memuat pengecualian dalam penilaian hasil pengawasan kewajiban. 

Reporter: Michael Reily