Walhi Sebut 765 Titik Api di 2018 Berasal dari Lahan Korporasi

Ulet Ifansasti / Greenpeace
Asap keluar dari lahan gambut yang terbakar, sementara sebuah alat berat menggali lahan gambut untuk membuat kanal di lahan kelapa sawit milik PT Rokan Adiraya di desa Sontang, Rokan Hulu.
Penulis: Dimas Jarot Bayu
Editor: Yuliawati
27/8/2018, 14.49 WIB

Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menyebutkan sebanyak 765 hotspot (titik api) sepanjang Januari-Agustus 2018 berasal dari kawasan konsesi kehutanan dan perkebunan korporasi. Walhi menyoroti minimnya penegakan hukum kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang disebabkan korporasi selama 2018.

Secara keseluruhan, berdasarkan data satelit, Walhi memantau sebanyak 3.578 titik api sepanjang Januari sampai 25 Agustus 2018 yang tersebar di Sumatera dan Kalimantan. Rinciannya, 2.423 hotspot di Kalimantan dan 1.155 hotspot di Sumatera.

"Kami melihat bahwa justru terbanyak titik api yang terjadi dari Januari sampai 25 Agustus 2018 itu terjadi di konsesi yang diberikan kepada korporasi baik di kebun kayu maupun kebun sawit," kata Manajer Kampanye Keadilan Lingkungan Walhi Yuyun Harmono di depan KLHK, Jakarta, Senin (27/8).

(Baca juga: Divonis Bersalah, Jokowi Klaim Kebakaran Hutan Turun 85%)

Yuyun menilai data tersebut seharusnya bisa menjadi landasan bagi pemerintah semakin menguatkan penegakkan hukum atas kasus kebakaran hutan yang melibatkan korporasi. Pemerintah, lanjutnya, harus mampu memberikan sanksi pidana dan perdata bagi korporasi yang ditengarai membakar hutan dan lahan.

Yuyun khawatir komitmen pemerintah menurunkan emisi sebesar 29% pada 2030 tak tercapai jika tak menegakkan hukum kepada korporasi. "Saya kira ketika indikasi awal bahwa titik api terutama terjadi di wilayah konsesi korporasi, itu harus jadi pemecut semangat bagi KLHK untuk menegakkan hukum bagi korporasi," kata Yuyun.

Rp 221 Triliun Kerugian Akibat Kebakaran Hutan (Katadata)

Dia pun menilai pemerintah tak perlu lagi cenderung menyalahkan masyarakat atas karhutla yang terjadi selama ini. Pasalnya, berdasarkan kajian Walhi di Sumatera dan Kalimantan pada 2016, kearifan lokal dalam mengelola ekosistem rawa gambut justru sangat menghormati lingkungan.

(Baca juga: Asian Games Dihantui Kebakaran Hutan, Begini Antisipasi Pemerintah)

Bahkan, beberapa budaya memiliki standar lebih tinggi dibandingkan aturan pemerintah terkait batas maksimal kedalaman gambut untuk perkebunan. Menurut Yuyun, pemerintah tak tahu akar persoalan kebakaran hutan jika masih menyalahkan masyarakat.

Lebih lanjut, dia menilai pemerintah hanya mencari-cari alasan dan takut memberikan sanksi berat terhadap korporasi.

"Jangan hanya menyalahkan masyarakat, apalagi mencari-cari bahwa aktivitas tradisional menyebabkan kebakaran hutan dan lahan ini," kata Yuyun.