Kendari- Kementerian Pertanian terus menggalakan ekspor komoditas pertanian dari sejumlah daerah, tak terkecuali Kendari. Melalui Pelabuhan Kendari New Port yang baru beroperasi Januari 2018, Badan Karantina Pertanian sudah memfasilitasi ekspor 300 ton cocoa butter senilai Rp27 miliar ke Belanda.
Balai Karantina Pertanian (BKP) Kendari, sebagai instansi yang bertanggungjawab dalam pengawasan lalu lintas produk pertanian, khususnya keamanan dan kesehatannya di setiap pintu pengeluaran bandara dan pelabuhan, telah melakukan pelayanan efektif.
"Kami sangat mendukung aktivitas ekspor yang dapat dilakukan langsung dari Kendari,” kata Mastari, Kepala Karantina Pertanian Kendari saat melepas ekspor cocoa butter, Kamis (9/8). Karantina Kendari siap membantu memfasilitasi agar komoditas ekspor yang dikeluarkan dari Kendari memenuhi standar kesehatan yang dipersyaratkan negara tujuan ekspor, ujarnya menambahkan
Menurut Mastari, terhitung sejak Januari 2018 Pelabuhan Kendari New Port telah digunakan untuk aktivitas ekspor secara langsung. Sebelumnya, aktivitas ekspor komoditas pertanian unggulan harus melalui Makassar ataupun Surabaya.
Karantina Kendari sendiri sudah memfasilitasi perusahaan eksportir cocoa butter PT KKI sebanyak tiga kali dalam dua bulan terakhir. Masing-masing masing- masing 160 ton, 40 ton, dan terakhir 100 ton cocoa butter langsung ke Belanda.
Untuk memperlancar akselerasi ekspor produk kakao di Sulawesi Tenggara, Karantina Kendari telah menerapkan sistem pengawasan inline inspection untuk mengawal persyaratan kesehatan dan keamanan komoditas, agar dapat sesuai atau memenuhi persyaratan yang diminta negara tujuan ekspor. Seperti cocoa butter ini, Belanda mempersyaratkan Phitosanitary Certificate (PC) dari karantina. “Makanya kami kawal sejak awal, proses mulai dari hulu sampai hilirnya dalam pemantauan petugas karantina,” ujarnya.”Hingga saat tiba waktunya ekspor, tidak perlu ada kejadian bongkar muat kontener untuk diperiksa, karena semua sudah dilakukan di gudang pemilik."
Karantina Kendari juga memonitor gudang penyimpanan produk, kardus kemasan sampai pada kontainer yang digunakan sebagai alat angkut ekspor. Hal ini untuk memastikan apakah sudah sesuai standar untuk terbebas dari hama gudang. Pemeriksaan dan pengujian sampel produk di laboratorium karantina untuk uji mikroskopis juga dilakukan untuk sebelum dikeluarkannya PC yang dipersyaratkan.
Selain inline inspection yang dilakukan di unit kerja, percepatan layanan ditingkat pusat juga terapkan terobosan inovasi di bidang Information Technology (IT) yakni dengan pemberlakuan e-certification dan e-payment. Untuk tujuan ekspor ke Belanda, dua ha,l ini telah diterapkan dan bakal terus dijajaki ke negara tujuan ekspor lainnya. Dengan ini dapat dipastikan percepatan ekspor produk pertanian ke negara tujuan terus dikawal Karantina Pertanian, tandas Mastari.
Sebagai informasi, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman sedang menggalakkan ekspor komoditas pertanian unggulan sebagai kunci kemajuan sektor ini. Berbagai kemudahan dalam pelayanan ekspor terus ditingkatkan dengan berbagai terobosan. Data tahun 2017 tercatat peningkatan ekspor produk pertanian sebesar 24 persen, tren baik ini terus dipacu untuk tahun 2018 ini.
Indonesia Pelopor dalam Regulasi Pengendalian Resistensi Antibiotik
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) baru-baru ini mengakui bahwa AMR adalah masalah global bagi kesehatan masyarakat dan hewan
Yogyakarta - Dalam pencegahan dan pengendalian ancaman bahaya Resistensi Antibiotik (AMR), Indonesia merupakan satu-satunya negara anggota ASEAN yang telah mempunyai peraturan (regulasi), terutama dalam pelarangan penggunaan AGP (Antibiotic Growth Promotor).
Hal tersebut terungkap saat pertemuan para penggiat komunikasi tingkat ASEAN atau lebih dikenal dengan ASEAN Communication Group on Livestock (ACGL) ke-6 yang dilaksanakan selama empat hari dari 7-10 Agustus 2018 di Hotel Ambarukmo Yogyakarta.
Pada pertemuan tersebut, Direktur Kesehatan Hewan, Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian Fadjar Sumping Tjatur Rasa saat membuka pertemuan menyampaikan bahwa pemerintah Indonesia menerapkan pelarangan penggunaan Antibiotic Growth Promotors (AGP) dalam imbuhan pakan ternak karena adanya dampak negatif bagi kesehatan manusia.
Di Indonesia pelarangan terhadap penggunaan AGP telah diatur dalam Undang-Undang No. 18/2009 juncto Undang-Undang No. 41/2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang menyatakan tentang pelarangan penggunaan pakan yang dicampur dengan hormon tertentu dan atau antibiotik imbuhan pakan. Melalui Permentan No. 14/2017 tentang Klasifikasi Obat Hewan, sejak 1 Januari 2018 Pemerintah melarang penggunaan AGP dalam pakan. Pelarangan ini juga diperkuat dengan Permentan No. 22/2017 tentang Pendaftaran dan Peredaran Pakan, yang mensyaratkan pernyataan tidak menggunakan AGP dalam formula pakan yang diproduksi bagi produsen yang akan mendaftarkan pakan.
Fadjar Sumping menyatakan Resistensi Antimikroba (AMR) termasuk antibiotik yang diidentifikasi sebagai ancaman baru bagi kesehatan masyarakat, hewan dan lingkungan. "Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) baru-baru ini mengakui bahwa AMR adalah masalah global bagi kesehatan masyarakat dan hewan yang utama dan sangat penting diatasi saat ini, serta mendesak semua negara untuk memprioritaskan tindakan untuk pengendalian AMR," ungkapnya.
Menurut dia, AMR merupakan masalah lintas sektor yang memerlukan pendekatan multi-sektoral untuk penanganannya. "Saat ini sudah terlihat adanya peningkatan kesadaran masyarakat dan peningkatan kapasitas teknis di kesehatan masyarakat untuk pencegahan dan pengandalian AMR, tapi untuk sektor kesehatan hewan masih sedikit tertinggal," katanya.
Lebih lanjut Fadjar Sumping jelaskan bahwa, risiko AMR tercatat lebih tinggi di negara-negara di mana peraturan perundang-undangan, pengawasan regulasi dan sistem pemantauan mengenai penggunaan antimikroba hampir tidak ada. "Pencegahan dan pengendalian AMR yang tidak memadai dan lemah di beberapa negara akan meningkatkan risiko penyebarannya,” ujarnya.
Dalam pertemuan yang dihadiri oleh Penggiat Komunikasi Kementerian Pertanian dari negara-negara ASEAN, perwakilan Sekretariat ASEAN dan pakar dari FAO ini disepakati bahwa peningkatan kesadaran sangat diperlukan agar ada keterlibatan yang lebih baik dari semua pemangku kepentingan untuk mengatasi masalah AMR, seperti petugas kesehatan hewan, produsen, dan pedagang, serta komponen lainnya.
Imron Suandy selaku Delegasi Indonesia pada pertemuan tersebut mengatakan, pada pertemuan ACGL ke-6 ini semua negara anggota ASEAN sepakat untuk merumuskan bersama langkah-langkah komunikasi yang tepat dalam menyampaikan bahaya resistensi antibiotik dan peran serta masyarakat dalam mencegahnya. "Berbagai kegiatan komunikasi dan pesan kunci terkait AMR kepada pemangku kepentingan khususnya masyarakat, kami bahas bersama," ujarnya.
Menurut dia, strategi komunikasi dan advokasi resistensi antimikroba tingkat regional sebelumnya telah sepakati oleh para Menteri Pertanian se-Asia Tenggara untuk menjadi pedoman bagi semua negara anggota ASEAN dalam memberikan arah yang tepat pada pelaksanaan kerangka kerja, serta untuk menyempurnakan dan mengembangkan kesadaran terkait AMR.
Imron menyebutkan, saat ini Indonesia sudah memiliki rencana aksi nasional yang merupakan hasil pemikiran dan konsep bersama dari berbagai sektor. Konsep yang disusun sejalan dengan lima tujuan strategi global, yaitu: (1) meningkatkan pemahaman, kepedulian dan kesadaran terkait resistensi antimikroba, (2) memperkuat pengetahuan dan basis data (evidence) melalui surveillance dan penelitian, (3) melakukan upaya pencegahan infeksi yang efektif melalui penerapan higieni, sanitasi, dan biosecurity, (4) mengoptimalkan penggunaan antimikroba dan (5) mengembangkan investasi yang berkelanjutan berbasis ketersediaan sumber daya lokal dalam penemuan obat-obatan baru, alat diagnostik, vaksin dan intervensi lainnya dalam upaya pengobatan.
Menurut dia, Indonesia telah mengedukasi seluruh lapisan masyarakat (stakeholder) baik swasta maupun perguruan tinggi pemerintah dalam penggunaan antimikroba melalui berbagai kegiatan yang diikuti masyarakat. Kegiatan tersebut bertujuan untuk mengembangkan inovasi dan pesan kunci yang kreatif terkait kampanye penggunaan antimikroba yang bijak dan bertanggung jawab dalam mengendalikan resistensi antimikroba.
“Bentuk edukasi yang sudah kita lakukan dalam bentuk kegiatan seperti Studium General (Kuliah Umum) di perguruan tinggi, kampanye lewat kegiatan CFD, dan perlombaan essay, pembuatan video pendek terkait AMR, penyabaran informasi melalui media sosial (FB, Instagram, Twitter dan Youtube),” kata Imron Suandi.
Namun ada tantangan yang dihadapi oleh Indonesia dalam pemahaman AMR, yaitu: (1) koordinasi lintas sektor dalam mempermudah komunikasi terkait AMR, terutama dalam penentuan Focal Point, (2) keterbatasan anggaran dan prioritas kegiatan terkait AMR di sektor Pertanian, (3) pengembangan pesan kunci yang dapat menarik keterlibatan stakeholder (termasuk peran sektor swasta), (4) komunikasi, informasi, dan edukasi bagi peternak di berbagai level terkait penerapan regulasi dan praktik yang baik dalam beternak, (5) motivasi sektor swasta untuk bersungguh-sungguh mendukung dan terlibat dalam berbagai aktivitas pengendalian AMR di bidang kesehatan hewan.
“Ke depan kami harapkan ada peningkatan pemahaman masyarakat dalam penggunaan antimikroba yang cerdas dan bijak,” ujarnya.
Sementara itu, Pebi Purwo Suseno selaku Delegasi Indonesia dan Co-Chair dalam pertemuan tersebut juga menyebutkan bahwa komunikasi merupakan kunci utama keberhasilan dalam menyikapi permasalahan munculnya penyakit hewan yang bersifat lintas batas (transboundary) dan zoonosis serta AMR. Menurut dia, respon komprehensif dapat dicapai apabila komunikasi antar negara-negara ASEAN terjalin dengan baik melalui media yang dapat di akses dengan mudah oleh para penggiat komunikasi dari semua negara ASEAN.
“Untuk mekanisme penyebaran informasi di tingkat ASEAN, maka sambil menunggu website www.asean.animalhealth aktif, Indonesia dan Malaysia akan membuat konsep note yang akan didistribusikan oleh ASEAN Secretariat ke negara anggota ASEAN,” katanya.