PT Pertamina EP mencatatkan kinerja yang cukup baik sepanjang enam bulan pertama tahun ini. Anak usaha Pertamina ini membukukan laba bersih sebesar US$ 361 juta atau setara Rp 5,2 triliun, meningkat 24,7% dibandingkan capaian periode yang sama tahun lalu.
Presiden Direktur Nanang Abdul Manaf mengatakan capaian laba bersih semester I-2018 sudah 65,9% target perusahaan tahun ini. Capaian ini lebih tinggi dari periode yang sama tahun lalu, dengan capaian sebesar 48,5%. Kenaikan harga minyak berpengaruh besar pada kinerja perusahaan.
“Kenaikan harga minyak mendongkrak laba bersih. Dalam RKAP (Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan) kami memproyeksikan harga minyak US$ 48 per barel, sekarang rata-rata sudah US$ 66 per barel,” kata Nanang di kantornya, Jakarta, Jumat (10/8). Harga gas juga telah mencapai US$ 6,07 per juta standar kaki kubik (MMSCF), melampaui proyeksi US$ 5,92 per MMSCF.
Kenaikan harga minyak membuat pendapatan perusahan naik 18% menjadi US$ 1,46 miliar. Pendapatan ini terdiri dari penjualan dalam negeri sebesar US$ 1,44 miliar dan ekspor minyak mentah dan gas sebesar US$ 16,4 juta. (Baca: Pertamina Buka Peluang Revisi Target Laba Tahun Ini)
Pendapatan ini berasal dari hasil penjualan lifting di dalam negeri sebesar 13.632 juta barel minyak (MBO) atau sekitar 45,2% terhadap RKAP 2018. Sedangkan penjualan ekspor minyak berasal dari ekspor kondensat Senoro Field Matindok sebesar 155 MBO ke Singapura dan Korea Selatan serta penjualan ekspor gas dari Unitisasi Suban sebesar 863,12 MMSCF ke konsumen Gas Supply Pte Ltd Singapura.
Produksi migas Pertamina EP hanya naik 1,76% menjadi 252.529 barel setara minyak per hari (BOEPD). Produksi ini lebih banyak ditopang oleh gas. Produksi harian gas sudah mencapai 1.022 MMSCFD atau 4,3% di atas target RKAP. Sementara produksi minyak hanya 76 ribu barel per hari (BOPD), masih di bawah target tahun ini 83 ribu BOPD.
(Baca: Keuangan Pertamina Terancam Gejolak Rupiah dan Harga Minyak)
Nanang menjelaskan dari lima asset dan kemitraan, kontributor terbesar produksi minyak adalah Asset 5 di Kalimantan dengan produksi rata-rata 18.530 BOPD atau 24% dari total produksi. Sedangkan produksi gas terbesar ada di Asset 2 di Sumatera Selatan sebesar 437,4 MMSCFD atau 43% dari total produksi gas Pertamina EP. Untuk total produksi migas ada di Asset 2, yaitu 92.424 BOEPD atau sekitar 37%.
Asset 5 sebagai kontributor produksi minyak terbesar, salah satunya dari hasil pemboran pada Field Tarakan (di Struktur Sembakung) dan Field Bunyu (Struktur Bunyu). Sedangkan Asset 2 didukung oleh perbaikan kinerja kompresor di Field Prabumulih dan penambahan empat unit kompresor di Field Pendopo.
Pertamina EP juga telah merealisasikan anggaran biaya operasi (ABO) sebesar US$ 567 juta, naik 12,8% dibandingkan periode sama tahun lalu US$ 502,4 juta. Sedangkan anggaran biaya investasi (ABI) hingga akhir Juni sebesar US$ 199,4 juta, naik 5,3%.
(Baca Ekonografik: Jurus Jonan Tingkatkan Investasi Energi)
Di sisi lain, Pertamina EP juga berupaya meningkatkan cadangan migas dengan melakukan kegiatan eksplorasi. Sepanjang paruh pertama tahun ini, kegiatan eksplorasi telah dilakukan pada 7 sumur. Sebanyak tiga sumur sudah selesai eksplorasi dan empat sumur dalam pelaksanaan pemboran. Untuk seismic 2D telah dilakukan sepanjang 153 kilometer (km) dan 3D seluas 344 kilometer per segi.
“Pada semester II kami proyeksikan realisasi pemboran mencapai 13, seismic 2D sepanjang 1190 km dan 3D seluas 444 km2. Pemboran dilakukan pada beberapa area potensial seperti Akasia Maju dan Pinus Harum di Jawa Barat, Sekarwangi di Sumabgsel, dan Wolai di Sulawesi Tengah,” kata Nanang.