Berdiri sejak 1976, merek perangkat makan asal Bali, Jenggala telah menciptakan 3 ribu jenis produk keramik. Menyasar konsumen kelas atas, Jenggala menggunakan bahan baku pilihan dan teknik pembakaran khusus yang menghasilkan hingga 8 ribu warna eksklusif.
Warna memang menjadi kekuatan bagi Jenggala untuk masuk pasar internasional dan bersaing dengan produsen lain, terutama dari Tiongkok dan Portugal. Untuk mendapat warna yang khas, Jenggala tak segan mengimpor beberapa jenis tanah olahan dari Thailand, Australia, dan Malaysia.
Supaya konsumen tidak bosan, Jenggala juga merilis produk dengan bahan baku kayu, batu, hingga tekstil sejak lima tahun terakhir. "Desain dan warna setiap produk kami berbeda," ujar Sales Executive Jenggala Rinny Demonsi kepada Katadata di Jakarta, Rabu (1/8).
Pada 12-15 Agustus mendatang, Jenggala dan 7 produsen kriya lain akan turut dalam pameran New York Now 2018 atas dukungan Badan ekonomi Kreatif (Bekraf). Ini adalah upaya Jenggala untuk kembali diterima di Negeri Paman Sam.
(Baca juga: Bekraf Kirim 8 Merek Kriya Ikut Pameran di New York
Sekitar 10 tahun lalu, produk Jenggala digunakan oleh beberapa korporasi di Amerika Serikat (AS), namun lambat laun pesanannya menurun. Selain AS, produk Jenggala juga digunakan oleh beberapa perusahaan dari Arab Saudi, Oman, Jepang, dan Republik Maladewa.
Produk eksklusif Jenggala memang banyak digunakan di hotel, maupun perkantoran elit. DI Indonesia, beberapa hotel seperti Hotel Grand Hyatt Bali, Hotel Bulgari Bali, dan Hotel Alila Bali telah menggunakan perangkat makan yang terbuat dari keramik Jenggala.
Toh Jenggala tak meninggalkan konsumen retail. Di Bali, Jenggala membuka 4 galeri, yakni di Kuta, Sanur, Ubud, dan Jimbaran. Sementara di Jakarta, produk Jenggala bisa ditemukan di beberapa department store. Jenggala juga menjual aneka produk pecah belah secara online melalui websitenya.
(Baca juga: Bekraf Bantu 95 Startup Kuliner Cari Modal)
Dalam sebulan, Jenggala bisa memproduksi 22 ribu produk. Dengan harga mulai Rp 10 ribu, hingga jutaan rupiah per item, omzet Jenggala bisa melampaui Rp 30 miliar per tahun.
Menurut Rinny, kapasitas produksi ini masih kalah dibanding perusahaan manufaktur yang mampu memproduksi 1 juta produk sehari. "Ada beberapa yang pakai mesin, tetapi di setiap proses ada sentuhan tangan manusia," ujarnya.
Jenggala dibangun oleh desainer keramik asal Selandia Baru, Brent Hesselyn dan pengusaha hotel, Wija Waworuntu di Sanur, Bali. Anak Wija, Daria Ariani Waworuntu kemudian mengembangkan usaha itu hingga kini.