Pihak terkait yang melawan gugatan uji materi masa jabatan calon wakil presiden di Mahkamah Kontitusi (MK) makin bertambah. Sejumlah aktivis dan akademisi mendaftarkan diri bersama di MK pada Senin (30/7), berposisi kebalikan dengan langkah yang diambil Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK).
Para pihak terkait ini melawan gugatan Partai Perindo terkait dengan ketentuan penjelasan Pasal 169 huruf n UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Permohonan tersebut mempersoalkan ketentuan larangan seseorang mendaftar menjadi wakil presiden atau wakil presiden yang sudah menjabat dua kali masa jabatan, namun tidak berturut-turut.
Partai Perindo mengajukan gugatan ini karena menganggapnya telah menghalangi partai ini untuk mengajukan kembali Jusuf Kalla sebagai calon wakil Presiden Jokowi di Pemilu 2019. Kalla pun mengajukan diri sebagai pihak terkait mendukung gugatan ini.
(Baca juga: Jusuf Kalla Dukung Gugatan Pembatasan Masa Jabatan Wapres)
Para pihak terkait tersebut yakni Titi Anggraini, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Agus Riewanto (Pusat Kajian Hukum dan Demokrasi Fasultas Hukum Universitas Sebelas Maret), Bayu Dwi Anggono (Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi Fasultas Hukum Univestitas Jember).
Selain itu, Feri Amsari (Pusat Studi Konsitusi Fakultas Hukum Univesitas Andalas), Jimmy Usfunan (Dosen Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum, Universitas Udayana), dan Jimmy Zeravianus Usfunan (Dosen Hukum Administrasi Negara, Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada).
Para pihak terkait hukum itu memberikan kuasa hukumnya kepada Denny Indrayana, Wigati, Harimuddin, dan Zamrony. Sebelumnya aktivis 1998 yakni Ubedilah Badrun, telah mengajukan pihak terkait melawan gugatan yang sama.
"Terkait dengan substansi permohonan, sesungguhnya tidak ada lagi hal yang perlu diperdebatkan terkait dengan pembatasan masa jabatan presiden dan wakil presiden yang hanya boleh menjabat dua kali untuk jabatan yang sama," kata pihak terkait Titi Anggraini kepada Katadata.co.id, Senin (30/7).
Titi menyatakan teks konstitusi Pasal 7 UUD NRI 1945 menyebutkan “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”.
"Jika melihat ketentuan ini, sama sekali tak ada keraguan terkait apakah pembatasan masa jabatan yang hanya dua kali untuk masing-masing jabatan presiden atau wakil presiden itu berturut turut atau tidak," kata dia.
(Baca juga: Polemik Gugatan Masa Jabatan Cawapres dan Potensi JK Maju Pilpres)
Pihak terkait juga mengkritik dalil kuasa hukum Jusuf Kalla, yang menyatakan bahwa jabatan Wakil Presiden itu sama seperti jabatan menteri, dengan menggunakan dasar Pasal 4 ayat (2) UUD RI 1945. Pasal tersebut berbunyi: “Dalam melakukan kewajibannya Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden.”
Pendapat tersebut sebagai hal yang tidak tepat karena: pertama, pemberhentian Wakil Presiden dilakukan dengan mekanisme impeachment, sedangkan pemberhentian menteri itu terserah presiden.
Kedua, Wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat dalam satu pasangan dengan Presiden, sedangkan Menteri diangkat oleh Presiden. Ketiga, apabila Presiden mangkat atau diberhentikan, Wakil Presiden akan dilantik secara otomatis.
"Berdasarkan alasan-alasan ini, dalil hukum menggunakan Pasal 4 ayat (2) UUD RI 1945, hanya karena ada kata “dibantu” merupakan suatu tindakan yang terlalu dipaksakan," kata Titi.
Lebih lanjut Titi menyatakan dalam sistem presidensil yang memegang kekuasaan adalah presiden, dan wakil presiden adalah pembantu presiden. Sehingga posisi presiden- wakil presiden adalah jabatan yang tidak boleh dipisahkan.
"Apalagi, wakil presiden adalah orang yang akan menjadi presiden, andai sesuatu dan lain hal terjadi kepada presiden. Dan kuasa seorang wakil presiden sebagai orang nomor dua di republik ini tentu adalah sesuatu yang tidak bisa dinafikan," kata Titi.
(Baca juga: MK Tolak Uji Materi UU Pemilu, JK Tak Dapat Kembali Maju Cawapres)