Pengusaha dari beragam sektor industri mengeluhkan rancangan Undang-undang Sumber Daya Air (RUU SDA) yang saat ini tengah dibahas DPR dan pemerintah. Alasannya, RUU SDA dinilai bakal merugikan industri dan berpotensi merusak iklim investasi di Indonesia.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Danang Girindrawardana mengatakan, persoalan dalam RUU SDA salah satunya berasal dari Pasal 46 ayat 1 dan Pasal 51 ayat 1 yang pada pokoknya mengatur pasokan air untuk industri berdasarkan izin dari BUMN, BUMD, atau BUMDes.
Danang menilai klausul tersebut akan merugikan industri lantaran menjadi prioritas terendah untuk mendapatkan izin pasokan air. Selain itu, Danang menilai sistem BUMD dan BUMDes saat ini masih belum optimal. Dia khawatir jika klausul tersebut malah membuat rumit sistem investasi industri di Indonesia.
"Banyak BUMDes itu kan masih menerapkan sistem yang konvesional. Sementara BUMD memiliki motif politik karena sesuai kepentingan daerah masing-masing," kata Danang di Jakarta, Kamis (19/7).
(Baca juga: Pemerintah dan DPR Sepakat Batasi Swasta Berbisnis Air Minum)
Danang juga menilai kedua pasal tersebut belum memiliki kejelasan orientasi perbedaan tentang kewajiban negara dalam menyediakan air bersih dan air minum bagi masyarakat dengan tujuan membangun perekonomian melalui dunia usaha. Kedua pasal tersebut, kata Danang, terkesan mencampuradukkan fungsi sosial dan ekonomi air.
Dia pun mengkritik Pasal 47 RUU SDA di mana industri diwajibkan membuat bank garansi serta menyisihkan minimum laba bersih 10% untuk konservasi. Danang menilai pembuatan bank garansi tak tepat lantaran selama ini perhitungan penggunaan debit air juga belum terimplementasi secara baik.
Ada pun kewajiban menyisihkan laba bersih 10% untuk konservasi dinilainya memberatkan karena industri selama ini juga telah membayar pajak atas keuntungan usaha kepada pemerintah. Dia menilai industri seharusnya tak perlu dibebankan lagi oleh adanya pungutan negara.
"Laba usaha kan sudah dipajaki, tapi ditambah lagi pajak 10% terhadap laba usaha," kata Danang.
(Baca: Kemenperin Nilai Swasta Tak Perlu Ajak BUMN Kelola Air Minum Kemasan)
Ketua Himpunan Kawasan Industri Indonesia (HKI) Sanny Iskandar menilai RUU SDA bakal bertabrakan dengan berbagai UU Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 142 Tahun 2015 tentang Kawasan Industri. Sanny menjelaskan, UU Nomor 13 Tahun 2014 dan PP Nomor 42 Tahun 2015 telah mewajibkan pemerintah untuk menyediakan suplai air baku kepada industri.
Sementara, RUU SDA justru semakin membatasi suplai air baku kepada industri tersebut. Padahal kawasan industri hanya menghabiskan 2% dari total konsumsi air baku secara nasional.
"Ini sangat disayangkan karena sekali lagi untuk menjamin kepastian hukum pembangunan kawasan industri kita perlu konsistensi dari pemerintah," kata Sanny.
Menyulitkan kegiatan produksi
Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Mukti Sardjono meminta agar RUU SDA tak menyulitkan industri kelapa sawit mendapatkan pasokan air. Menurut Mukti, pasokan air begitu penting bagi industri kelapa sawit.
Jika hal tersebut terhambat, Mukti menilai industri kelapa sawit akan kesulitan menjalankan usahanya, yang diperkirakan bakal berimbas kepada pemasukan negara. Pasalnya, industri kelapa sawit merupakan salah satu penyumbang devisa negara terbesar. "RUU SDA harus bisa menjamin industri kelapa sawit," kata Mukti.
(Lihat juga: Bisnis Menggiurkan Air Minum Kemasan)
Direktur Utama Krakatau National Resources (KNR) Koesnohadi juga meminta agar RUU SDA tak mengganggu kinerja industri baja. Saat ini, kata dia, industri baja membutuhkan 128,7 juta meter kubik air per tahun selama proses produksi.
Jika RUU SDA membatasi suplai air, mantan Chairman Indonesian Iron and Steel Industry Association (IISIA) ini menilai produksi industri baja dapat terhambat. Padahal, baja merupakan hulu dari banyak sektor industri lainnya. "Kebutuhan asupan air ini paling strategis," ucap Koesnohadi.
Penasehat bidang Lingkungan dan Energi Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Heri Pranoto menilai adanya Pasal 46 ayat 1 dan Pasal 51 ayat 1 RUU SDA bakal menganggu industri tekstil dan produk tekstil (TPT). Sebab, Heri memprediksi perizinan melalui BUMN, BUMD, dan BUMDes bakal membatasi pasokan air.
Padahal, industri TPT membutuhkan jutaan meter kubik air per bulannya dalam proses produksi. Hal tersebut terutama pada tahapan pencelupan kain. "Untuk memproduksi kain itu akan kesulitan," kata Heri.