Menanti Kejutan Capres-Cawapres Jelang Pendaftaran Pilpres

ANTARA FOTO/ Reno Esnir
Sejumlah aktifis pro demokrasi yang mendaftarkan Pengujian Undang-Undang No.7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, membentangkan spanduk seusai melengkapi syarat gugatan di Mahkamah Konstitusi (MK),Jakarta, Kamis (21/6/2018).
Penulis: Dimas Jarot Bayu
Editor: Yuliawati
4/7/2018, 07.04 WIB

Satu bulan menjelang masa pendaftaran Pemilihan Presiden atau Pilpres 2019, petahana Presiden Joko Widodo dan penantangnya Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto belum mengumumkan calon wakil presiden (cawapres). Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago mengatakan, masing-masing kubu partai politik menunggu para pesaingnya mengumumkan cawapres terlebih dahulu.

Pangi menilai sikap menunggu ini strategi agar para koalisi partai politik dapat mempersiapkan calon yang lebih baik untuk dihadapkan dalam Pilpres 2019. Selain itu, strategi ini untuk memberikan efek kejut bagi lawan politik.

Pangi mengatakan, strategi yang disiapkan mirip saat pencalonan Anies Baswedan menjelang tenggat waktu pendaftaran Pilkada DKI.

“Ini strategi kejutan. Sama ketika Anies di luar dugaan maju di menit terakhir. Tidak ada parpol yang berani menyatakan siapa cawapres,” kata Pangi di Jakarta, Selasa (3/7).

(Baca juga: Evaluasi Pilgub Jabar, Golkar Khawatirkan Elektabilitas Jokowi)

Di samping itu, persyaratan ambang batas capres-cawapres yang membutuhkan dukungan 20% suara parpol di parlemen dan 25% suara nasional hasil Pemilu 2014, cukup menyulitkan ruang gerak. 

Direktur Eksekutif Charta Politika, Yunarto Wijaya mengatakan, persyaratan pencalonan presiden ini membuat kemungkinan hanya akan ada dua koalisi partai dalam Pilpres 2019.

Saat ini partai politik mulai kembali melakukan konsolidasi membahas kandidat Pilpres 2019. Partai mengevaluasi hasil perolehan dalam Pilkada untuk menentukan strategi dalam Pilpres nanti.

Di kubu pendukung Jokowi, belum ada tokoh utama yang maju sebagai cawapres. Baru-baru ini Wakil Ketua Umum PPP Arwani Thomafi mengusulkan cawapres Jokowi berlatar nasionalis-Islam.

Alasannya, dari berbagai Pilkada, khususnya di kawasan lumbung suara di Jawa, pasangan calon yang menang memiliki latar belakang tersebut. Ini terlihat dari pasangan Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul Ulum di Jawa Barat, Ganjar Pranowo-Taj Yasin di Jawa Tengah, serta Khofifah Indar Parawansa-Emil Elestianto Dardak. Ketiganya merupakan pasangan nasionalis-Islam.

"Ini potret ideal yang memang dianggap pemilih Indonesia," kata Arwani. 

Jokowi selama ini dianggap sebagai tokoh berlatar nasionalis, sehingga membutuhkan cawapres dari latar belakang kelompok Islam. Apalagi, Jokowi selama ini dianggap lemah dalam menggarap dukungan kelompok muslim.

(Baca juga: Elektabilitas Jokowi Kalah di Jabar, PPP Usul Cawapres dari Kaum Islam)

Sementara itu kubu pendukung Prabowo belum membuat kesepakatan koalisi antara PKS dan Gerindra. Belakangan Presiden PKS Sohibul Iman mengatakan belum tentu akan mengusung Prabowo dalam Pilpres 2019.

PKS akan memprioritaskan Prabowo, kata dia, namun hal itu tak menutup kemungkinan kandidat lain yang akan diusung sebagai calon presiden.

Salah satu nama digadang maju para kader PKS adalah Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan berpasangan dengan mantan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan. Sohibul beralasan, PKS telah berjuang meningkatkan elektabilitas Anies ketika Pilkada DKI Jakarta pada 2017 lalu.

Upaya tersebut, lanjut Sohibul, sangat luar biasa sehingga sayang jika Anies nantinya hanya ditempatkan sebagai cawapres. Wacana untuk mencalonkan Anies sebagai cawapres sebelumnya sempat digaungkan oleh Gerindra untuk mendampingi Prabowo.

(Baca juga: PKS Harap Gerindra Ikut Dukung Duet Anies-Aher di Pilpres 2019)

Sementara itu Gerindra tetap optimistis bakal menjalin lobi dengan PKS dalam Pilpres 2019. Ketua DPP Gerindra Nizar Zahro menyatakan proses penentuan kandidat yang menjadi keputusan bersama Gerindra dan PKS memang membutuhkan kesabaran, keuletan dan komitmen tinggi.

Terkait dengan wacana mengusung Anies sebagai calon presiden, Nizar menilai hal tersebut sah saja diusulkan oleh PKS. Hanya, Nizar mengingatkan bahwa PKS memerlukan koalisi partai politik dengan 20% kursi di DPR atau 25% suara sah nasional.

"(PKS) kalau kurang dari 20% tak bisa (mencalonkan Anies)," kata Nizar.

Penantang Jokowi lainnya datang dari Demokrat yang memunculkan poros ketiga dengan mengusung duet Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) dengan Ketua Komando Satuan Tugas Bersama (Kogasma) Pemenangan Pemilu Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).

Ketua Divisi Komunikasi Publik Partai Demokrat, Imelda Sari, mengatakan Demokrat terus menggalang lobi dengan berbagai parpol untuk mengusung wacana tersebut.

Namun, JK berulang kali mengatakan tak berminat untuk maju dalam Pilpres. Golkar pun menyatakan bersikukuh mendukung Jokowi dalam Pilpres.

Partai Demokrat juga membuka peluang untuk mengusung Anies Baswedan dalam Pilpres 2019. Anies dinilai sebagai sosok potensial untuk bisa maju ke gelanggang politik tahun depan.

"Saya pikir cukup diperhitungkan juga nama itu (Anies)," kata Imelda di Jakarta, Selasa kemarin. 

(Baca juga: Demokrat Terus Lobi Pimpinan Parpol Usung Duet JK-AHY di Pilpres 2019)