Sejumlah tokoh masyarakat dan aktivis kembali mengajukan uji materi ambang batas presiden (presidential threshold/PT) dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (21/6). Mereka hari ini mendatangi MK untuk menyerahkan dokumen fisik dan bukti permohonan gugatan setelah mendaftarkan uji materi secara online pada 13 Juni lalu.
Dua belas tokoh masyarakat dan aktivis tersebut, antara lain mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Ketua Komisi Yudisial Busyro Muqoddas, mantan Menteri Keuangan Chatib Basri, ekonom dari Universitas Indonesia Faisal Basri, mantan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hadar Nafis Gumay, mantan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto, akademisi Rocky Gerung, akademisi Robertus Robet.
Selain itu, ada pula Direktur Pusako Universitas Andalas Feri Amsari, sutradara film Angga Dwimas Sasongko, dan profesional Hasan Yahya, Ketua Umum Pengurus Pusat Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak, dan Direktur Perludem Titi Anggraini.
Dalam pengajuan ini, pemohon mengklaim memiliki argumentasi berbeda dari gugatan uji materi PT yang sebelumnya pernah ditolak MK. Pertama, mereka beranggapan jika pengaturan PT dalam Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 6A ayat (5) UUD 1945.
Sebab, Pasal 222 UU Pemilu lebih mengatur mengenai syarat calon presiden (capres) melalui adanya ambang batas. Padahal, Pasal 6A ayat (5) UUD hanya mendelegasikan pengaturan mengenai tata cara pencapresan.
"Jadi ini ada pertentangan dengan pasal konstitusi kita yang sebetulnya syarat-syaratnya sudah sangat jelas," kata mantan Ketua KPU Hadar Nafis Gumay di Gedung MK, Jakarta.
(Baca : MK Tolak Uji Materi UU Pemilu, Ambang Batas Presiden Tetap 20%)
Kemudian, pengaturan delegasi pensyaratan capres ke UU ada pada Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 dan tidak terkait pengusulan oleh partai politik. Alhasil, Pasal 22 UU Pemilu yang mengatur pensyaratan capres oleh partai politik dinilai bertentangan dengan Pasal 6 ayat (2) UUD 1945.
Pengusulan capres oleh partai peserta pemilu juga seharusnya bukan berdasarkan dari hasil pemilu legislatif sebelumnya. Alhasil, perhitungan PT tersebut dinilai irasional dan bertentangan dengan Pasal 6 ayat (2) UUD 1945.
"Penghitungan presidential threshold berdasarkan hasil pemilu DPR sebelumnya telah menghilangkan esensi pelaksanaan pemilu dan karenanya pasal 222 UU 7/2017 bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) dan (2) UUD 1945," kata Hadar.
Adapun syarat pengusulan capres oleh partai politik seharusnya tak perlu diatur lebih lanjut oleh pemerintah dan DPR. Para pemohon menilai konstitusi sudah mengaturnya dengan cukup jelas.
"Ini sebenarnya pengaturan yang close legal policy. Jadi hal yang sebetulnya tidak perlu lagi diatur dalam UU," kata Hadar.
Para pemohon juga beranggapan PT akan menghilangkan esensi pilpres karena berpotensi mengadirkan capres tunggal. Hal ini, kata Hadar, bertentangan dengan Pasal 6A ayat (1), (3), dan (4) UUD 1945.
Jika Pasal 222 UU Pemilu dianggap tak langsung bertentangan dengan konstitusi, MK tetap harus mengantisipasi potensi pelanggaran konstitusi sekecil apapun yang disebabkan pasal tersebut. Hadar menilai hal ini penting agar tak memunculkan ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
"Pasal 222 UU 7/2017 bukanlah constitutional engineering, tetapi justru adalah constitutional breaching, karena melanggar Pasal 6 ayat (2), Pasal 6A ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), Pasal 22E ayat (1) dan (2), serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945," kata Hadar.
(Baca Juga : Presidential Threshold 20% Sejak 2009, Jokowi: Kenapa Dulu Tak Ramai?)
Hadar juga menilai adanya PT akan mempersempit ruang bagi masyarakat untuk menentukan pilihan capres lain. Partai-partai baru pun akan kesulitan lantaran tak memiliki suara atau kursi dari Pemilu 2014.
Hadar mengakui jika saat ini waktu yang mereka miliki untuk uji materi sangat terbatas. Sebab masa pendaftaran capres dalam Pemilu 2019 akan dimulai pada 8-10 Agustus 2018 mendatang.
Kendati demikian, dia optimistis jika uji materi dapat dilakukan dengan cepat. Sebab, isu mengenai PT dalam Pemilu cukup krusial untuk segera dibahas.
Selain itu, MK juga pernah memproses uji materi serupa. Dengan demikian, menurutnya MK tak perlu memulainya lagi dari nol lagi untuk mengkaji gugatan pemohon.
"Oleh karena itu, kami berharap MK akan memprosesnya dengan cepat, bisa selesai sebelum masa pendaftaran calon dimulai," kata Hadar.
Senada dengan Hadar, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi dari Indonesia Titi Anggraini mengaku optimistis dapat memenangkan gugatan uji materi kali ini. Selain karena memiliki argumentasi baru yang lebih kuat, uji materi yang lama juga dinilainya tak masuk ke dalam substansi argumentasi mereka.
Menurut Titi, pada uji materi terkait PT yang lalu, permohonannya masuk setelah adanya gugatan milik Partai Idaman. Alhasil, Titi menduga hakim MK tak memeriksa argumentasi hukum permohonannya secara detil.
Titi pun meminta MK memprioritaskan uji materi yang mereka mohonkan kali ini. Menurut Titi, hal ini diperlukan agar memberikan kepastian hukum bagi para partai politik peserta pemilu dan masyarakat.
"Jadi harapan kami MK bisa memprioritaskan pemeriksaan perkara ini, sehingga bisa diperoleh putusan sesegera mungkin sebelum pendaftaran parpol peserta pemilu 2019," katanya.