Jokowi Digugat ke Pengadilan soal Terjemahan KUHP

ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
Presiden Joko Widodo (kanan) didampingi Ketua MPR Zulkifli Hasan (kiri) menghadiri pembukaan Sidang Tahunan MPR Tahun 2017 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (16/8).
Penulis: Dimas Jarot Bayu
Editor: Yuliawati
8/6/2018, 14.54 WIB

Presiden Joko Widodo (Jokowi) bersama Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly dan Ketua DPR Bambang Soesatyo digugat ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jumat (8/6). Mereka dianggap lalai tak membuat terjemahan resmi KUHP berbahasa Indonesia.

Para penggugat merupakan beberapa lembaga non-pemerintah yakni Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), dan LBH Masyarakat. 

Ketua Bidang Advokasi YLBHI Muhammad Isnur mengatakan, selama ini KUHP memiliki banyak terjemahan dari berbagai ahli pidana, seperti R Soesilo, Moeljatno, Andi Hamzah, dan BPHN. Seluruh terjemahan dari bahasa Belanda tersebut kerap berbeda karena sesuai tafsir masing-masing ahli pidana.

Isnur menyebut perbedaan tafsir ini dapat menimbulkan ketidakpastian dan ketidakselarasan hukum, khususnya perkara pidana. Padahal, Isnur berpendapat jika hukum pidana bersifat sangat materiil.

“Kalau seperti ini akibatnya banyak orang yang mungkin diterapkan pasal berbeda, bahasanya beda apalagi tafsirnya,” kata Isnur di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jumat (8/6).

(Baca juga: Bersama KPK, Komnas HAM & BNN Tolak Revisi KUHP soal Pidana Khusus)

Selain itu, Isnur menilai belum adanya terjemahan resmi KUHP tak sesuai dengan amanat UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara. Regulasi tersebut mengamanatkan pemerintah dan DPR membentuk aturan perundang-undangan menggunakan bahasa Indonesia.

Ketiadaan terjemahan resmi KUHP juga akan berdampak buruk akibat dijadikan rujukan dalam pembahasan revisi yang berlangsung di DPR.

Sebelum mengajukan gugatan, lembaga nonpemerintah ini telah mengirimkan somasi kepada pemerintah dan DPR. Somasi dilayangkan dua kali pada 11 Maret dan 28 Maret.

Namun, somasi tersebut tak pernah ditanggapi. "Jadi sudah dua bulan lebih kami (kirimkan) somasi tak ditanggapi," kata Isnur.

Atas dasar itu, YLBHI, ICJR, dan LBH Masyarakat kemudian melayangkan gugatan. Dalam pokok perkara, ketiganya menuntut majelis hakim menyatakan para tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum.

"Dengan lalai tidak membuat terjemahan resmi KUHP berbahasa Indonesia resmi," kata Isnur.

(Baca juga: Usai Kirim Surat, KPK Tunggu Sikap Jokowi soal Revisi KUHP)

Majelis hakim juga dituntut memerintahkan para tergugat membuat terjemahan resmi bahasa Indonesia dalam KUHP. Selain itu, para tergugat baik secara bersama atau privasi menyatakan permohonan maaf melalui lima media cetak nasional selama lima hari berturut-turut.

Dalam provisi, ketiganya menuntut majelis hakim memerintahkan agar pembahasan RKUHP ditunda. Menurut Isnur, KUHP yang dibuat terburu-buru dan masih problematik berpotensi mengkriminalisasi banyak orang.

Menurut Isnur, kondisi KUHP saat ini yang masih memiliki banyak kekurangan, seperti belum adanya terjemahan resmi, rentan mengkriminalisasi publik. "Apalagi dengan pasal-pasal karet yang sudah dibatalkan Mahkamah Konstitusi, itu lebih berbahaya lagi," kata Isnur.

Saat ini pemerintah dan DPR sedang merevisi KUHP yang ditargetkan selesai pada Agustus nanti. Pembahasan revisi KUHP memunculkan polemik. Beberapa lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, Komnas HAM dan Badan Narkotika nasional menolak revisi KUHP yang menyinggung soal pidana khusus.