Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mempertanyakan motif dan sikap nasionalisme pengirim surat terbuka yang ditujukan kepada Presiden Joko Widodo beserta Presiden Dewan dan Pimpinan Negara Anggota Uni-Eropa. Surat terbuka yang antara lain mengatasnamakan gabungan organisasi, masyarakat sipil, petani kecil, lembaga swadaya masyarakat (LSM) berisi aduan mengenai dampak usaha kelapa sawit yang dianggap merugikan aspek sosial, lingkungan, dan Hak Asasi Manusia (HAM).
Wakil Ketua Umum Bidang Perdagangan dan Keberlanjutan Gapki Togar Sitanggang menilai sikap aduan yang dilayangkan untuk meminta advokasi Uni-Eropa bukan langkah yang bijaksana sebagai masyarakat Indonesia.
“Warga negara Indonesia tetapi meminta pimpinan negara lain untuk menghukum industri yang berada di negara sendiri, nasionalisme-nya di mana?” kata Togar di Jakarta, Rabu (30/5) malam.
(Baca : Industri Sawit Eropa Dukung Indonesia Lawan Diskriminasi Uni Eropa)
Togar menerangkan langkah itu dipertanyakan karena dukungan seharusnya diberikan kepada bangsa sendiri, bukan untuk mempengaruhi kebijakan negara lain. Namun, dia menekankan bahwa pertanyaan nasionalisme diberikan tanpa menggunakan substansi faktor yang diadukan.
Alasan lain karena perkembangan kampanye hitam produk sawit Indonesia beserta turunannya sudah begitu masif, sehingga dikhawatirkan dapat mempengaruhi permintaan global.
Pada 22 Mei 2018, sebanyak 236 orang yang tergabung dalam organisasi masyarakat adat, serikat tani, organisasi masyarakat sipil, masyarakat adat, petani, buruh, pejuang hak asasi kemanusiaan, dan pejuang lingkungan mengirimkan surat terbuka bertajuk Menyikapi Dampak Usaha Perkebunan Kelapa Sawit. Surat memaparkan beragam dampak industri sawit seperti perusakan Hutan, Perampasan Tanah, Pelanggaran HAM, Korupsi dan Bencana Lingkungan.
Dalam surat terbuka, para perwakilan yang menentang industri sawit tersebut menggambarkan perkebunan dan industri kelapa sawit dinilai telah merusak fungsi hutan dan gambut dalam skala luas, hingga aduan mengenai adanya perlakuan tidak adil terhadap petani kecil lantaran pemerintah dinilai lebih berpihak terhadap kepentingan para pemilik modal.
(Baca Juga : Pengusaha Minta Pemerintah Konsisten Melobi Sawit RI ke Pasar Dunia)
“Kami juga telah kehilangan desa-desa kami (karena hak kelola kami terhadap lahan telah diokupasi oleh perkebunan sawit), kehilangan sumber pangan, sumber mata pencaharian, sumber obat-obatan herbal, berbagai jenis tanaman langka dan plasma nutfah, serta kehidupan kolektif yang ditopang oleh beragam kearifan lokal, termasuk tempat-tempat bersejarah warisan leluhur kami,” bunyi pernyataan dalam surat terbuka.
Selain itu, dalam praktik di lapangan, mereka mengaku masih berkonflik, mengalami kriminalisasi dan menjadi korban pelanggaran HAM, pengabaian hak-hak buruh, permasalahan sosial, ekonomi maupun lingkungan yang menciptakan bencana ekologis yang berkelanjutan seperti kekeringan, kebakaran hutan, polusi air, berkurangnya stok ikan, kehilangan ketahanan pangan yang memperburuk kualitas hidup masyarakat setempat, terutama untuk perempuan dan anak.
Menghadapi sejumlah tudingan dan persoalan lingkungan, sosial dan HAM yang kerap membayangi industri perkebunan sawit Indonesia, pemerintah sebelumnya sudah mengambil langkah guna memulihkan citra sawit Indonesia di mata dunia. Salah satu langkahnya ialah dengan meneribitkan sertifikat Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) sebagai bukti keberlanjutan lingkungan.
Regulasi tentang ISPO pun masih terus digodok dan bakal dikeluarkan dalam bentuk Peraturan Presiden. “Secepatnya kami selesaikan,” ujar Deputi Bidang Pangan dan Pertanian, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Musdhalifah Machmud.