Nilai Cost Recovery Capai Rp 48 Triliun, Investasi Rp 44 Triliun

Arief Kamaludin|KATADATA
Suasana North Processing Unit (NPU) wilayah kerja Blok Mahakam di Kutai Kartanegara, Minggu (31/12). Pertamina resmi mengambil alih pengelolaan Blok Mahakam dari Total E&P Indonesie mulai 1 Januari 2018.
22/5/2018, 15.42 WIB

Selama empat bulan terakhir, pengembalian biaya operasi di industri hulu minyak dan gas atau cost recovery mencapai US$ 3,46 miliar. Dalam catatan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas), pengembalian sekitar Rp 48,4 triliun itu sekitar 34 persen dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018.

Kepala Divisi Program dan Komunikasi SKK Migas Wisnu Prabawa Taher mengatakan anggaran yang dikembalikan kepada Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) itu terhitung hingga 30 April 2018. “Per 30 April 2018, cost recovery sekitar 34 persen dari target Pemerintah,” kata Wisnu kepada Katadata.co.id akhir pekan lalu. Angka tersebut melonjak cukup besar dari posisi akhir Maret yang baru mencapai US$ 2,6 miliar.

Menurut Wisnu, realisasi cost recovery meningkat di antaranya untuk pengeboran sumur pengembangan, pengeboran sumur ulang (workover), dan perawatan sumur (well service). Selain itu untuk pemeliharan fasilitas dan beberapa hal lainnya terkait operasi produksi.

Capaian cost recovery hingga April 2018 itu pun masih tinggi jika dibandingkan realisasi investasi hulu migas empat bulan terakhir untuk kegiatan eksplorasi maupun eksploitasi. Selama Januari-April 2018, investasi hulu migas mencapai US$ 3,18 miliar atau sekitar Rp 44,5 triliun. (Baca: Target Investasi Sektor Energi Tahun Ini Turun 25%).

SKK Migas juga mencatat penerimaan negara dari sektor hulu migas pada periode yang sama sebesar US$ 5,51 miliar. Jumlah ini sekitar 46 persen dari target APBN 2018,

Dalam APBN 2018, pemerintah mematok target cost recovery sebesar US$ 10,1 miliar. Target tersebut lebih kecil dari realisasi cost recovery sepanjang 2017 yang mencapai US$ 11,3 miliar atau turun 1,7 persen dari tahun 2016. Jumlah ini merupakan yang terendah dalam delapan tahun terakhir. Adapun realisasi cost recovery tertinggi terjadi pada 2013 yakni sebesar US$ 15,9 miliar.

Sementara pendapatan pemerintah dari hulu migas pada 2017 mencapai US$ 13,1 miliar atau meningkat 32 persen dari tahun sebelumnya. Angka tersebut merupakan yang tertinggi dalam tiga tahun terakhir. Hal ini pun pertama kalinya pendapatan hulu migas lebih besar dari cost recovery sejak 2015.

Pengembalian biaya operasi ini sering mendapat sorotan sejumlah pihak karena dinilai kerap kurang transparan. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), misalnya, beberapa kali menemukan pembayaran cost recovery tidak sesuai aturan. Yang terbaru, awal bulan lalu, terlihat dari hasil audit lembaga tinggi negara itu atas penggantian biaya operasional di empat blok migas pada 2016.

(Baca: BPK Temukan Cost Recovery Empat Blok Migas Tak Sesuai Aturan).

Berdasarkan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester II tahun 2017, BPK menilai pembebanan biaya yang tidak sesuai aturan tersebut mengakibatkan berkurangnya Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) migas dari kelebihan pembebanan cost recovery 2016 senilai Rp 3,59 miliar dan US$ 49,52 juta atau total ekuivalen Rp 674,60 miliar.