Jaksa Penuntut Umum (JPU) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menuntut majelis hakim untuk menjatuhkan pidana hukuman mati kepada Aman Abdurrahman (46). Aman, pendiri dan pimpinan Jamaah Ansharut Daulah (JAD), organisasi yang berkiblat dengan organisasi teror global ISIS, dianggap bertanggung jawab atas beberapa kasus terorisme di Indonesia.
Aman dianggap melanggar dua dakwaan primer, dan terbukti melakukan tindak pidana merencanakan dan/atau menggerakkan orang lain melakukan tindak pidana terorisme.
Aman diyakini menjadi dalang dalam peledakan bom Thamrin awal 2016, bom Samarinda 13 November 2016, bom Kampung Melayu 24 Mei 2017, serta penyerangan polisi di Medan 25 Juni 2017 dan Bima 11 September 2017.
Dakwaan pertama primer Aman yakni dianggap melanggar Pasal 14 Juncto Pasal 6 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Sementara dakwaan kedua primer yakni Aman dianggap melanggar Pasal 15 Juncto Pasal 7 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
"Menuntut majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang memeriksa dan mengadili perkara ini memutuskan, menjatuhkan pidana kepada terdakwa Oman Rochman alias Aman Abdurrahman alias Abu Sulaiman dengan pidana mati," kata JPU Anita Dewayani di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat (18/5).
(Baca juga: Jejak Teror dari Kerusuhan Mako Brimob ke Ledakan Bom di Surabaya)
Sidang pembacaan tuntutan ini sempat tertunda seminggu. Pekan lalu, Aman tak hadir di persidangan terkait kerusuhan napirapidana kasus terorisme di Mako Brimob. Aman sempat hadir di Mako Brimob atas permintaan para narapidana.
Aman juga dinilai telah menyebarkan paham terorisme melalui buku Seri Materi Tauhid dan blog Milah Ibrahim. JPU Mayasari menyebut buku tersebut membuat banyak orang terpapar paham radikalisme, di antaranya Syawaludin Pakpahan dan Muhammad Iqbal Tanjung. Syawaluddin merupakan salah seorang pelaku penusukan polisi di Medan, sementara Iqbal menembak aparat di Bima.
Jaksa menyatakan Syawaludin dan Iqbal menjadi anti-NKRI setelah membaca blog Aman. Kemudian mereka merasa perlu berjihad dengan menyerang polisi. "Sehingga mereka tidak mengakui hukum yang ada di Indonesia," kata Mayasari.
Dalam pertimbangannya, jaksa menilai hal yang memberatkan tuntutan Aman karena dia merupakan residivis dalam kasus terorisme. Aman tercatat menjadi narapidana dalam kasus pelatihan teror di Aceh pada 2009 dan pernah divonis bersalah pada kasus Bom Cimanggis pada 2010.
Pada Agustus 2017, seharusnya Aman Abdurrahman bebas dari penjara atas hukuman tujuh tahun penjara dalam kasus Bom Cimanggis. Namun, empat hari sebelum menghirup udara bebas, polisi kembali menyeretnya dalam beragam kasus serangan teror.
Hal lain yang memberatkan karena Aman merupakan penggagas berdirinya JAD pada 2015, jaringan yang melakukan berbagai kasus teror beberapa waktu ke belakang. Selain itu, Aman juga dianggap sebagai penganjur penggerak kepada pengikutnya untuk melakukan jihad dan amaliyah teror dengan dalil-dalilnya.
(Baca juga: Polisi Deteksi Narapidana Terorisme Mengajak Serang Mako Brimob)
Perbuatan Aman dianggap berimbas kepada banyaknya korban meninggal dan bom meledak. "Perbuatan terdakwa telah menghilangkan masa depan serang anak yang meninggal di tempat kejadian dalam kondisi cukup mengenaskan dengan luka bakar 90% serta lima anak mengalami luka berat dan dalam kondisi luka bakar yang sulit dipulihkan kembali seperti semula," kata Mayasari.
Adapun, Aman juga dianggap telah menyampaikan syirik demokrasi yang dimuat dalam blognya dan dapat diakses secara bebas. Hal ini dianggap mempengaruhi banyak orang untuk melakukan tindakan teror.
"Tidak ditemukan hal meringankan dari perbuatan terdakwa," kata Mayasari.
Atas tuntutan JPU, Aman bersama penasehat hukumnya akan mengajukan nota keberatan atau pledoi di sidang berikutnya. Pledoi akan dibuat masing-masing, baik Aman maupun pengacaranya rencananya pada sidang berikutnya yang dijadwalkan pada Jumat (25/5).