Majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta memutuskan menolak gugatan yang diajukan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) kepada Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). Dengan demikian, majelis hakim menilai pembubaran HTI telah sesuai dengan adanya peraturan perundang-undangan yang berlaku.
"Memutuskan dalam pokok perkara, menolak gugatan penggugat untuk seluruhnya," kata Hakim Ketua Tri Cahya Indra Permana di PTUN Jakarta, Senin (7/5).
Dalam pertimbangannya, majelis hakim menyatakan bahwa tidak terdapat cacat yuridis baik dari segi wewenang tergugat dan prosedur penerbitan Surat Keputusan Menkumham Nomor AHU-30.AH.01.08 Tahun 2017 tentang Pencabutan SK Menkumham Nomor AHU-0028.60.10.2014 tentang Pengesahan Pendirian Badan Hukum HTI. Selain itu, substansi SK Menkumham tersebut juga dinilai telah sesuai.
(Lihat infografik: Larangan Bagi Hizbut Tahrir di Berbagai Negara)
Hakim anggota Roni Erry Saputro mengatakan, HTI telah terbukti mengembangkan dan menyebarkan paham sistem pemerintahan Khilafah Islamiyah di Indonesia. Hal tersebut terbukti dari video tentang muktamar khilafah di Gelora Bung Karno pada 2013.
Adapula bukti mengenai pembacaan ikrar sekitar 1.500 mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) untuk memperjuangan khilafah di Indonesia yang diadakan Simposium Nasional Lembaga Dakwah Kampus pada 25-27 Maret 2016.
Roni mengatakan, kedua hal tersebut sudah cukup membuktikan bahwa HTI telah melakukan aksi untuk mengubah sendi-sendi negara, seperti demokrasi, nasionalisme, dan Pancasila.
"Dan tentu saja mengubah NKRI menjadi negara Khilafah Islamiyah," kata Roni.
Roni menyatakan jika sistem Khilafah Islamiyah bertentangan dengan Pancasila, khususnya sila ketiga tentang persatuan Indonesia. Sebab, sistem Khilafah Islamiyah dinilai akan mengesampingkan berbagai keragaman suku dan agama di Indonesia.
Padahal, para pendiri bangsa membuat Pancasila agar tiap-tiap suku dan agama di Indonesia dapat bersatu di bawah naungan NKRI. "Jika sistem Khilafah akan diterapkan di Indonesia, bukan tidak mungkin saudara kita yang berasal dari agama selain Islam akan keluar dari NKRI," kata Roni.
(Baca juga: Pemerintah Atur Pembinaan Mantan Anggota HTI Lewat SKB Tiga Menteri)
Adapun, Roni juga menilai pembentukan HTI sebagai badan hukum tidak tepat. Sebab, Hizbut Tahrir di berbagai belahan dunia merupakan organisasi politik. Seharusnya, HTI didirikan sebagai sebuah partai politik.
"Karena itu pendiriannya sebagai badan hukum telah salah sejak awal," kata Roni.
Kendati, majelis hakim PTUN menilai Kemenkumham juga perlu memperbaiki SK terkait pembubaran HTI lantaran adanya kekurangan konsideran. "Akan lebih baik jika SK tersebut diperbaiki, khususnya memuat pertimbangan sosiologis, yuridis, dan filosofis," kata Roni.
Cahya mengatakan, putusan yang diberikan PTUN baru berada di tingkat pertama. HTI masih dapat melakukan upaya hukum lanjutan jika tak sependapat dengan putusan PTUN.
"Kepada para pihak yang tidak sependapat dapat mengajukan upaya hukum sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku," kata Cahya.
Sebelumnya juru bicara HTI Ismail Yusanto mengatakan, pihaknya menggugat Kemenkumham karena dianggap telah membubarkan tanpa adanya pemberitahuan terlebih dahulu. kuasa hukum HTI Yusril Ihza Mahendra mengatakan, pembubaran HTI ini sebagai bukti kesewenang-wenangan pemerintah karena mencabut status badan hukum tanpa pengadilan.
"Pemerintah secara sepihak berwenang membubarkan ormas tanpa hak membela diri dan tanpa due process of law atau proses penegakan hukum dan adil dan benar sesuai asas negara hukum yang kita anut," kata dia.