Hakim MA Batalkan Kewajiban Freeport Bayar Pajak Air Rp 2,6 Triliun

ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari
Area pengolahan mineral PT Freeport Indonesia di Tembagapura, Papua.
Penulis: Yuliawati
19/4/2018, 16.21 WIB

Hakim kasasi Mahkamah Agung mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan PT Freeport Indonesia atas perkara tunggakan dan denda pajak air permukaan. Hakim membatalkan keputusan Pengadilan Pajak pada 18 Januari 2017 yang menolak permohonan banding Freeport dan mengesahkan tagihan pajak air permukaan Pemerintah Provinsi Papua ke Freeport selama 2011-2015 dengan nilai Rp 2,6 Triliun.

"Membatalkan Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put-79857/PP/M.XVB/ 24/2017, tanggal 18 Januari 2017," bunyi putusan yang dikutip dari situs MA, Kamis (19/4).

Putusan ini diambil dalam sidang permusyawaratan majelis pada 27 Februari 2018 yang dipimpin oleh Hakim Yulius dengan anggota majelis Hary Djatmiko dan Is Sudaryono. Namun, putusan ini baru dipublikasikan hari ini di situs MA.

(Baca juga: Freeport Belum Bayar Pajak, Gubernur Papua Mengadu ke Jokowi)

Hakim menganggap alasan-alasan yang diajukan Freeport dalam permohonan Peninjauan Kembali dapat diterima. Ada beberapa argumen hukum yang disampaikan Freeport.

Pertama, Freeport dan pemerintah RI terikat perjanjian Kontrak Karya tahun 1991 yang berlaku lex specialis derograt lex geralis atau hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis), dan berlaku sebagai Undang-Undang bagi pembuatnya.

Kedua, sifat kekhususan memiliki yurisdiksi dan kedudukan perlakuan hukum sama tanpa ada pembedaan perlakuan dalam pelayan hukum. Ketiga, perkara ini merupakan kebijakan fiskal yang merupakan otoritas pemerintah pusat atau Kementerian Keuangan.

"Alasan-alasan permohonan Pemohon Peninjauan Kembali cukup berdasar dan patut untuk dikabulkan, karena terdapat putusan Pengadilan Pajak yang nyata-nyata bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku," bunyi putusan tersebut.

(Baca: DPR Minta Freeport Klarifikasi Pelanggaran Lingkungan di Papua)

Perkara ini bermula dari tagihan Surat Ketetapan Pajak Daerah Pajak Air Permukaan dari Pemprov Papua ke Freeport sejak 2011 hingga 2015 sebesar Rp 2,6 triliun. Pemprov menagih pajak air permukaan berdasarkan Peraturan Pemerintah Daerah Provinsi Papua Nomor 4 Tahun 2011 tentang pajak daerah.

Dalam Perda tersebut, Pemprov Papua mengenakan tarif pajak kepada Freeport sebesar Rp 120 per meter kubik per detik untuk tiap pengambilan air.

Selain itu, Pemprov Papua menetapkan tarif pajak air permukaan sebesar 10% dari jumlah volume air bawah tanah, atau air permukaan yang diambil dan dimanfaatkan. Pembayarannya setiap bulan.

Aturan tersebut juga memuat sanksi jika wajib pajak lalai. Sanksi administrasi berupa bunga sebesar 25% dari pokok pajak, ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga dua persen setiap bulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar.

Sementara Freeport bersikukuh tak membayar pajak air karena masih mengacu aturan dalam kontrak karya (KK), yang hanya mengakui pajak atas penggunaan air permukaan sebesar Rp 10 per meter kubik per detik.

Pemprov kemudian membawa perkara ke pengadilan pajak dan dimenangkan pengadilan. Pemprov Papua mengklaim jumlah pajak yang harus dibayar Freeport tersebut sudah mendapat rekomendasi dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).