Jelang Pilpres, Menag Ingatkan Ceramah Agama Tak Muat Politik Praktis

Arief Kamaludin|KATADATA
Aksi 212 saat Pilkada DKI Jakarta 2017.
Penulis: Dimas Jarot Bayu
Editor: Yuliawati
18/4/2018, 13.46 WIB

Menteri Agama Lukman Hakim Syaifuddin menilai potensi konflik karena sentimen agama mulai meningkat menjelang Pilkada serentak 2018 dan Pilpres 2019. Lukman mengatakan, berbagai macam aspirasi politik diperkirakan akan menggunakan rumah-rumah ibadah dengan menonjolkan sentimen agama tertentu.

"Itu berpotensi menimbulkan gesekan," kata Lukman di Hotel Bidakara, Jakarta, Rabu (18/4).

Untuk meminimalisir potensi konflik, Lukman mengingatkan agar para penceramah mengikuti sembilan seruan ceramah di rumah ibadah. Dalam sembilan seruannya, Lukman mengatakan penceramah harus memiliki pemahaman dan komitmen pada tujuan utama diturunkannya agama, yakni melindungi harkat dan martabat kemanusiaan, serta menjaga kelangsungan hidup dan perdamaian umat manusia.

(Baca juga: Belajar dari Pilkada DKI Jakarta, Bawaslu Atur Ceramah Agama)

Kemudian, ceramah yang disampaikan harus berdasarkan pengetahuan keagamaan yang memadai dan bersumber dari ajaran pokok agama.Ceramah juga diminta dalam kalimat yang baik dan santun dalam ukuran kepatutan dan kepantasan. Ceramah tersebut harus terbebas dari umpatan, makian, serta ujaran kebencian yang dilarang oleh agama mana pun.

Kemudian, ceramah dibawakan dalam nuanasa mendidik dan berisi materi pencerahan yang meliputi pencerahan spiritual, intelektual, emosional, dan multikultural. Materi diutamakan berupa nasihat, motivasi, dan pengetahuan yang mengarah kepada kebaikan, peningkatan kapasitas diri, pemberdayaan umat, penyempurnaan akhlak, peningkatan kualitas ibadah, pelestarian lingkungan, persatuan bangsa, serta kesejahteraan dan keadilan sosial.

Materi yang disampaikan dalam ceramah juga diminta tidak bertentangan dengan empat konsensus bangsa Indonesia, yaitu Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika.

Materi yang disampaikan juga tidak boleh mempertentangkan unsur SARA yang dapat menimbulkan konflik, mengganggu kerukunan ataupun merusak ikatan bangsa.

(Baca juga: Amnesty Internasional: Politik Kebencian Tumbuh Subur di 2017)

Seruan itu juga menyebutkan bahwa materi yang disampaikan tidak bermuatan penghinaan, penodaan, dan/atau pelecehan terhadap pandangan, keyakinan dan praktek ibadah antar/dalam umat beragama, serta tidak mengandung provokasi untuk melakukan tindakan diskriminatif, intimidatif, anarkis, dan destruktif.

Selain itu, materi yang disampaikan tidak bermuatan kampanye politik praktis dan/atau promosi bisnis. Ceramah pun harus tunduk pada ketentuan hukum yang berlaku terkait dengan penyiaran keagamaan dan penggunaan rumah ibadah.

Menurut Lukman, sembilan seruan tersebut dimaksudkan agar ceramah keagamaan mampu mengembalikan esensi ajaran agama. Lukman mengatakan, semua agama memiliki ajaran agar para pemeluknya hidup rukun dan damai di tengah kemajemukan.

"Jangan sampai rumah ibadah itu digunakan sebagai tempat yang justru menggunakan agama untuk membuat polarisasi di tengah masyarakat hanya karena aspirasi politik yang berbeda," kata Lukman.

Adapun, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto menilai jika kemajemukan yang ada di Indonesia tetap harus dijaga kerukunannya.

Wiranto menilai jika berbagai perbedaan itu justru dapat menjadi kekuatan Indonesia saat ini. "Kalau yang beragam itu bersatu, kekuatannya luar biasa. Saling isi dan saling bantu," kata Wiranto.