PPATK dan KPK Desak RUU Pembatasan Transaksi Uang Tunai Disahkan

Arief Kamaludin (Katadata)
Penulis: Dimas Jarot Bayu
Editor: Yuliawati
17/4/2018, 14.16 WIB

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mendesak agar Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah segera membahas dan mengesahkan Rancangan Undang-undang (RUU) Pembatasan Transaksi Uang Kartal. RUU ini dianggap penting untuk membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang di Indonesia.

Kepala PPATK Kiagus Ahmad Badaruddin mengatakan, selama ini para pelaku tindak pidana korupsi dan pencucian uang kerap menghindari penggunaan transaksi nontunai dan memilih menggunakan uang kartal. Para pelaku tindak pidana menghindari transaksi nontunai karena lebih mudah dilacak oleh otoritas berwenang, seperti PPATK.

Sebaliknya penggunaan uang kartal menyulitkan pelacakan asal-usul sumber dana dan memutus pelacakan aliran dana kepada para penerima manfaat (beneficial owner).

"Terdapat kecenderungan para pelaku tindak pidana menggunakan transaksi tunai dengan uang kartal untuk memutus mata rantai transaksi sehingga sulit dilacak," kata Kiagus di kantornya, Jakarta, Selasa (17/4).

(Baca juga: Ada Perpres Beneficial Ownership, Cuci Uang Korporasi Mudah Dibongkar)

Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo menyatakan selama ini banyak koruptor yang menggunakan modus transaksi uang kartal. Salah satunya kasus eks Direktur Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan Antonius Tonny Budiono dan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar.

Tonny diketahui menerima suap melalui 33 tas sebesar Rp 18,9 miliar yang berada di Mess Perwira Bahtera Suaka, kawasan Gunung Sahari, Jakarta Pusat. Uang tersebut diduga terkait perizinan dan pengadaan berbagai proyek sejak Tonny menjabat Dirjen Hubla Kemenhub periode 2016-2017.

Adapun Akil diduga menyimpan uang suap sebesar Rp 2,7 miliar dari balik dinding ruang karaoke di rumah dinas Ketua MK RI Jalan Widya Chandra III Nomor 7 Jakarta Selatan. Akil merupakan tersangka dalam perkara suap dan TPPU terkait sengketa Pilkada di MK.

"Pada waktu itu kami belum memiliki UU ini, tapi sudah ada ketakutan kalau menyetorkan secara tunai di perbankan itu kemudian pasti teman-teman PPATK sudah menyala lampunya," kata Agus.

(Baca juga: Perpres Beneficial Ownership Terbit, Ditjen Pajak Buru Pengemplang)

Tak hanya untuk mencegah korupsi dan TPPU, RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal pun dinilai dapat mengurangi biaya pencetakan uang dan menjaga keselamatan sistem pembayaran. Selain itu RUU ini dapat mendorong gerakan nontunai yang dicanangkan pemerintah.

Masyarakat akan dipaksa untuk tidak banyak menggunakan transaksi uang tunai kemudian mengoptimalkan jasa perbankan. "Sebelum RUU ini diwujudkan kami sudah menggalangkan gerakan transaksi nontunai, salah satunya di antaranya insiatif nontunai pembayaran tol," kata Deputi Gubernur Bank Indonesia Erwin Rijanto.

Ketua DPR Bambang Soesatyo menilai tujuan RUU ini cukup baik dan siap memprioritaskan pembahasan RUU tersebut dalam Prolegnas 2018. Hanya saja terdapat beberapa hal yang perlu dipertimbangkan seperti saat ini transaksi nontunai sebagian besar dilakukan masyarakat menengah ke atas di perkotaan.

Sementara masyarakat desa belum beradaptasi dengan transaksi nontunai. Selain itu, fasilitas atau infrastruktur transaksi keuangan nontunai yang terintegrasi belum secara merata tersedia di seluruh Indonesia.

"Bank Indonesia harus terus mendorong memperbaiki implementasi Gerakan Nasional Nontunai agar dapat menjadi bagian dari kehidupan masyarakat kita sehari-hari baik di perkotaan hingga pedesaan," kata Bambang.

Bambang pun meminta agar pemerintah segera menyerahkan draf RUU ini ke DPR. Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly mengatakan draf RUU saat ini tengah masuk tahap akhir sebelum ditandatangani para menteri terkait.

"Akan kami minta dorong dan nanti Kepala PPATK bisa sampaikan ke Pak Presiden untuk dikirim ke DPR dengan surat presiden," kata Yasonna.

(Baca juga: Beneficial Ownership, Buka Kedok Berlapis Pemilik Penambangan)