Mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo memasuki masa pensiunnya sejak 1 April 2018 kemarin, dan mulai memiliki hak memilih dan dipilih dalam pertarungan politik. Sejak menjelang pensiun, Gatot pun telah secara terbuka menunjukkan minat terjun dalam gelanggang pemilihan presiden 2019.
Melalui video berdurasi 2,07 menit yang ditautkan dalam akun Twitter miliknya pada Minggu (1/2), Gatot mengatakan masa purnabakti tak menghentikan langkahnya untuk bisa mengabdi kepada negara. "Memberikan bakti sepenuh hati dengan semangat tak kenal menyerah, hingga tiba saatnya nanti panggilan ilahi," kata Gatot.
Gatot pun aktif mengunjungi berbagai media memperkenalkan dirinya dan mengemukakan rencana bertarung dalam ajang Pilpres. Beberapa tokoh politik senior pun dia sambangi, di antaranya Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono, dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto.
Jalan bagi Gatot bisa bertarung sebagai capres dalam Pilpres 2019 tidaklah mudah, dia akan menghadapi beberapa aral melintang. Faktor utama, yakni Gatot hingga kini belum mendapatkan dukungan dari partai politik yang akan mendaftarkannya sebagai capres atau cawapres.
Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya mengatakan, sebagian besar partai telah melabuhkan dukungannya untuk dua poros utama dalam Pilpres 2019, yakni Presiden Joko Widodo dan Prabowo.
Jokowi telah memiliki lima partai pengusung, yakni PDIP, Golkar, Hanura, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Nasdem. Sementara Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sudah memberikan sinyal mendukung Prabowo maju dalam Pilpres 2019.
(Baca juga: Anies dan Gatot Kandidat Cawapres, Gerindra Pantau Elektabilitas)
Tinggal tiga partai yang saat ini belum menyatakan arah dukungan politiknya, yakni Partai Amanat Nasional (PAN), Demokrat, dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Namun sebagai sosok non-partai, Yunarto menilai Gatot harus memiliki modal elektoral untuk bisa dipinang ketiga partai tersebut.
Sayangnya, Gatot belum cukup populer di masyarakat dengan tingkat pengenalan terhadap Gatot masih berada di bawah 50%. Elektabilitas Gatot pun cenderung masih di bawah 5% dari berbagai survei.
"Jadi namanya baru dikenal di level orang-orang yang mengerti dan mengikuti politik, belum di level grassroot," kata Yunarto.
Dalam berbagai survei, elektabilitas Gatot masih di bawah beberapa tokoh lainnya seperti Jokowi, Prabowo, Komandan Satuan Tugas Bersama (Kogasma) Pemenangan Pilkada dan Pilpres Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) Agus Harimurti Yudhoyono, Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
Survei Populi Center dengan simulasi top of mind yang dirilis pada Rabu (28/2) menyatakan bahwa Gatot memiliki elektabilitas sebesar 0,7% sebagai capres pada Pilpres 2019. Elektabilitas Gatot dalam survei Populi berada di posisi keempat menyusul Jokowi (52,8%), Prabowo (15,4%), dan mantan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (0,9%).
Survei Poltracking yang dirilis pada Minggu (18/2) menyebutkan elektabilitas Gatot bertengger pada posisi keempat sebesar 2,3%. Elektabilitas Gatot menyusul posisi Jokowi (55,9%), Prabowo (29,9%), dan Anies (2,8%).
Dalam posisi cawapres, hasil survei yang dilakukan Alvara Research Center pada Jumat (23/2) menunjukkan bahwa Gatot dianggap sebagai representasi dari kalangan militer yang potensial. Sebanyak 69,1% responden menyetujui jika Jokowi berpasangan dengan Gatot pada Pemilu 2019.
(Baca juga: Jokowi, Prabowo dan Gatot Nurmantyo Diusung Jadi Bakal Capres PAN)
Peluang jadi Capres lewat Gerindra
Menurut Yunarto, peluang terbesar Gatot maju sebagai capres apabila berhasil melobi Prabowo untuk tak ikut dalam Pilpres 2019. Dengan begitu, Gerindra dan PKS akan bisa memberikan dukungannya kepada Gatot.
"Kalau Prabowo menjadi king maker saja dan menyerahkan kendaraan Gerindra plus PKS untuk kemudian memajukan Gatot, peluangnya akan lebih realistis untuk bisa menyaingi Jokowi," ujar Yunarto.
Hanya saja, lobi agar Prabowo tak maju dalam Pilpres 2019 perlu upaya ekstra, karena Gerindra tentu tak ingin kehilangan elektabilitasnya dalam pemilihan legislatif 2019.
Ketua Pusat Studi Politik dan Keamanan Universitas Padjadjaran (Unpad) Muradi mengatakan, Gerindra membutuhkan figur Prabowo untuk mendongkrak elektabilitas partai berlambang kepala garuda itu. Selama ini, orang memilih Gerindra karena adanya politik figur dari mantan Komandan Jenderal Kopassus tersebut.
"Kalau tidak memajukan Prabowo akan menjadi petaka politik bagi Gerindra karena hampir dipastikan Gerindra tidak akan mendapatkan suara signifikan dibandingkan Pemilu 2014 kemarin," kata Muradi.
(Baca juga: Simulasi Survei, Jokowi-AHY Berpeluang Kalahkan Prabowo-Anies di 2019)
Opsi Gatot menjadi cawapres juga dinilai bakal melalui jalan terjal. Muradi skeptis bila Gatot menjadi cawapres Jokowi, karena selama ini hubungan keduanya cukup renggang.
"Karakter Pak Gatot yang tidak terlalu nyaman jadi nomor dua. Inginnya pegang tongkat komando, itu yang jadi masalah juga," kata Muradi.
Sementara itu, bila Gatot menjadi cawapres pendamping Prabowo, dinilai akan membawa persoalan pangkat kemiliteran. Gatot merupakan Jenderal bintang empat, sementara Prabowo ketika pensiun merupakan Jenderal bintang tiga.
"Dia akan dicaci-maki internalnya kalau mau jadi cawapres dari bintang tiga," kata Muradi.
Selain itu, pemasangan Gatot bersama Prabowo dianggap tak akan mampu memenangkan pemilu melawan Jokowi. Sebab, keduanya memiliki basis elektoral yang hampir mirip.
"Di antara dua sosok itu akan saling memakan suara, akan saling merugikan, dan akan menguntungkan Jokowi mengingat latar belakang mereka yang sama, pangsa pasar yang sama," kata Yunarto.