Penguatan peraturan dan penerapan transparansi informasi pemilik manfaat atau beneficial ownership (BO) dari korporasi di Indonesia saat ini dinilai sudah sangat mendesak. Sebab, tingkat ancaman tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang dilakukan korporasi saat ini lebih tinggi dibandingkan perorangan.
Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Kiagus Ahmad Badaruddin mengatakan, berdasarkan National Research Assesment (NRA) yang dilakukan pada 2015, nilai ancaman TPPU dari korporasi di Indonesia sebesar 7,1. Sementara, nilai ancaman TPPU dari perorangan hanya sebesar 6,74.
"Teridentifikasi bahwa tingkat ancaman TPPU yang dilakukan korporasi lebih tinggi," kata Kiagus di Jakarta, Selasa (27/3).
Menurut Kiagus, korporasi kerap kali digunakan oleh pelaku tindak pidana untuk menyembunyikan dan menyamarkan identitas pelaku dan hasil tindak pidana. Praktik ini terjadi akibat kurang atau rendahnya informasi BO yang memadai, akurat terjamin kebenarannya, serta dapat diakses secara cepat. "Korporasi seperti ini dimanfaatkan oleh pelaku tindak pidana sebagai kendaraan atau media pencucian uang."
(Baca juga: Perpres Beneficial Ownership Terbit, Ditjen Pajak Buru Pengemplang)
Karenanya, Kiagus menilai terbitnya Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi dinilai baik. Aturan tersebut dinilai akan mendorong transparansi informasi BO dari korporasi.
Selama ini, ketentuan BO yang ada dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU masih bersifat terbatas. Aturan tersebut dianggap belum mampu merekam informasi BO dari korporasi yang ada di Indonesia.
"Perpres ini pada hakikatnya memuat pengaturan dan mekanisme untuk mengenali pemilik manfaat dari suatu korporasi sehingga diperoleh informasi mengenai BO yang akurat, terkini, dan tersedia untuk umum," kata Kiagus.
Wakil Ketua KPK Laode M Syarief mengatakan, Perpres ini sangat membantu lembaga penegak hukum untuk menyidik TPPU yang dilakukan pelaku tindak pidana. Laode mengatakan KPK selama ini perlu mengeluarkan tenaga lebih karena banyak pelaku TPPU yang mencuci uangnya melalui korporasi tanpa menggunakan nama pribadinya.
"Kadang enggak ada namanya orang ini, tapi sangat berkuasa di sebuah perusahaan. Dia tidak tercantum secara resmi," kata Laode.
Menurut Laode, dengan adanya Perpres ini maka koruptor akan kesulitan menyembunyikan harta kekayaan hasil kejahatannya. Proses pemulihan aset pun dinilai akan lebih maksimal dengan adanya Perpres ini.
"Perpres ini akan mendorong good governance sehingga membantu pencegahan korupsi," tambah Laode.
(Baca juga: Beneficial Ownership, Buka Kedok Berlapis Pemilik Penambangan)
Tak hanya itu, Laode juga menilai Perpres ini juga akan mampu meningkatkan iklim investasi di Indonesia. Pasalnya, berbagai lembaga pemeringkat seperti Fitch Ratings, Moody's Investors Service, dan Standard and Poor's (S&P) turut pula mengkaji transparansi informasi untuk menilai iklim investasi.
"Kalau kita mau mengangkat investasi di Indonesia, ya harus transparan. Makin disembunyikan ya investasi makin tidak baik. Jadi ini perlu kita tekankan," kata dia.
Kepala Grup Penanganan Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU-PPT) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Heni Nugraheni mengungkapkan hal senada. Menurut Heni, melalui Perpres ini iklim investasi Indonesia akan meningkat lantaran kredibilitas sistem keuangan akan semakin baik.
"Peningkatan transparansi ini sangat penting untuk melindungi sistem finansial secara global," kata Heni.
Heni menambahkan, Perpres ini juga akan berguna untuk mendorong pemasukan pajak dari korporasi. Selain itu, aturan ini pula akan mampu membantu urusan perizinan serta pengawasan atas korporasi yang ada di Indonesia.
"Karena kami bisa mapping korporasi ini siapa pengendali utamanya," kata dia.