Sejumlah organisasi nirlaba yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Persekusi Media menilai persekusi dan intimidasi dalam bentuk demontrasi oleh Front Pembela Islam (FPI) terhadap Majalah Tempo pada Jumat (16/3) lalu dinilai sebagai bentuk lemahnya perlindungan hukum. Hal ini kemudian dapat menjadi ancaman nyata kepada semua media yang kritis di Indonesia.
"Bila hal ini dibiarkan, dikhawatirkan muncul organisasi lain yang akan menjadi pelaku-pelaku baru, karena merasa mendapatkan justifikasi atau pembenaran untuk menduplikasi tindakan serupa," kata Regional Coordinator SAFEnet Damar Juniarto dalam keterangan tertulis, Rabu (21/3).
Damar mengatakan, karikatur yang dibuat dan ditampilkan Tempo merupakan sebuah kegiatan jurnalistik yang dilindungi melalui Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Pasal 28 F UUD 1946.
Seharusnya, jika ada pihak yang keberatan atau dirugikan dengan karikatur tersebut dapat menempuh mekanisme jalur sengketa jurnalistik dalam bentuk hak jawab atau hak koreksi sebagaimana Pasal 4 UU Pers. Pihak yang keberatan juga dapat mengadukan media atau karya jurnalistik itu kepada Dewan Pers.
"Karena Dewan Pers yang berhak menilai dan memiliki kewenangan menilai apakah sebuah karya jurnalistik tersebut telah melanggar kode etik jurnalistik atau tidak," kata Damar.
(Baca juga: FPI Protes Kartun Berserban, Tempo Minta Mediasi Dewan Pers)
Damar menyatakan demonstrasi merupakan hak asasi manusia yang dijamin konstitusi. Namun begitu, niatan FPI dan orasinya yang mengandung ujaran kebencian, memaksa mengakui kesalahan, mengintervensi ruang redaksi, dan bentuk intimidasi lainnya merupakan hal yang tidak dibenarkan oleh hukum.
"Sehingga jika itu terjadi, aparat penegak hukum sudah sepatutnya bertindak demi melindungi pers. Karena melindungi kemerdekaan pers sama saja melindungi wujud kedaulatan rakyat," kata Damar.
Damar menilai peristiwa ini menjadi bukti maraknya aksi ormas yang mengusung kebenaran dan tafsir tunggal menurut mereka sendiri dengan cara pemaksaan dan intimidasi. Karenanya, Damar menilai Kepolisian seharusnya mengambil sikap lebih proaktif melakukan langkah perlindungan hukum.
Tujuannya agar tidak ada pihak-pihak yang melakukan tindakan melanggar hukum. "Karena telah menjatuhkan vonis bersalah kepada media atau seseorang yang berbeda pandangan dengan mereka sebelum proses hukum dilakukan oleh aparat penegak hukum," kata dia.
(Lihat juga: Waspada Persekusi Melalui Media Sosial)
Koalisi pun menuntut kepada Presiden Joko Widodo untuk bersikap tegas membela kemerdekaan pers dan berekspresi. Mereka juga menuntut semua pemimpin politik memiliki rasa tanggungjawab dan toleransi dalam kehidupan bernegara.
"Mengimbau kepada semua pihak yang merasa memiliki keberatan terhadap karya jurnalistik atau karya artistik, untuk tetap menghormati kemerdekaan pers dan berekspresi dengan cara menempuh penyelesaian sengketa pers, sebagaimana diatur dalam UU 40 Tahun 1999 tentang Pers," kata Damar.
FPI berunjuk rasa di depan kantor Tempo memprotes kartun yang terbit di majalah Tempo edisi 26 Februari 2018. Mereka memprotes pemuatan kartun yang menunjukkan gambar seorang pria yang tak terlihat wajahnya berkata, “Maaf … Saya tidak jadi PULANG.” Perempuan berambut sebahu yang mengenakan kaus tanpa lengan menimpali, “Yang kamu lakukan itu JAHAT.” Dalam gambar tersebut, tak ada nama yang muncul, baik pada pria maupun perempuan.
FPI menuduh kartun itu melecehkan umat Islam karena menafsirkan orang berjubah tersebut adalah Rizieq Syihab, pemimpin FPI yang kini bermukim di Arab Saudi. Ketika massa masih berdemo, beberapa perwakilan FPI berdialog dengan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo Arif Zulkifli yang didampingi Pemimpin Redaksi Koran Tempo Budi Setyarso dan Kepala Komunikasi Korporat Wahyu Muryadi.
Dalam perbincangan sekitar satu jam itu disepakati bahwa FPI mengajukan somasi atas kartun itu dan akan dimuat sebagai hak jawab pada majalah Tempo edisi pekan depan.
Pemimpin FPI tetap meminta Arif menyatakan minta maaf atas pemuatan kartun itu. “Terhadap dampak yang diakibatkan atas pemuatan kartun itu, saya meminta maaf,” kata Arif.
Arif kembali menegaskan bahwa dalam kerja jurnalistik tak ada intensi untuk merendahkan atau beritikad tidak baik terhadap narasumber yang sedang diberitakan. Sebab, kerja jurnalistik semata-mata menyandarkan pada fakta. Jika pencarian fakta itu dianggap keliru, Dewan Pers yang berwenang menilainya.
(Baca: Tergolong Kejahatan Kemanusiaan, Persekusi Perlu Diproses Hukum )