Menakar Mimpi Besar Tommy Soeharto Jadi Capres di Pemilu 2019

ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha
Ketua Dewan Pembina Partai Berkarya Hutomo Mandala Putra atau Tommy Soeharto (ketiga kiri) saat pembukaan Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) III Partai Berkarya di Solo, Jawa Tengah, Sabtu (10/3).
Penulis: Dimas Jarot Bayu
Editor: Yuliawati
12/3/2018, 13.44 WIB

Partai Berkarya berencana mengusung Hutomo Mandala Putera alias Tommy Soeharto, 55, dalam pemilihan presiden 2019. Rencana ini muncul setelah Tommy terpilih sebagai Ketua Umum Berkarya dalam Rapat Pimpinan Nasional III yang digelar di Solo, Jawa Tengah, Sabtu (10/3).

Sekretaris Jenderal DPP Partai Berkarya Badaruddin Andi Picunang mengatakan pengusungan Tommy salah satunya karena faktor trah Soeharto. Pengusungan putra kelima dari enam bersaudara keluarga Cendana ini pun mendapat dukungan sepenuhnya dari para kader Partai Berkarya.

Hanya saja, pengusungan Tommy akan terganjal berbagai faktor. Faktor pertama mengenai syarat ambang batas calon presiden (presidential threshold/PT) dengan dukungan sebesar 20% kursi DPR atau 25% suara nasional. Sementara, Partai Berkarya baru pertama kali mengikuti pemilihan legislatif pada 2019 nanti dengan nomor urut tujuh.

Namun, Partai Berkarya menganggap faktor tersebut bukan merupakan halangan bagi Tommy berlaga di Pilpres 2019. Tommy masih memiliki kesempatan apabila berhasil melobi partai-partai lain untuk mendukungnya maju bersaing dengan capres lain, diantaranya Presiden Joko Widodo.

"Partai baru memang tak dapat mengusung, tapi kalau ada teman-teman dari partai lain mempunyai hak untuk mengusung (Tommy Soeharto), kami siap saja," kata Andi.

(Baca juga: Gerindra Rangkul Calon Poros Ketiga untuk Dukung Prabowo)

Hambatan untuk mengusung Tommy sebagai calon presiden sebenarnya tak hanya karena syarat ambang batas presiden. Jejak rekam Tommy yang pernah terjerat beberapa kasus hukum bakal menghambatnya maju menjadi orang nomor satu di Indonesia.

Tommy terseret kasus korupsi tukar guling tanah gudang beras milik Badan Urusan Logistik (Bulog)
dan PT Goro Batara Sakti (GBS) saat 1994. Pada 1999, Tommy menjadi terdakwa bersama dengan Beddu Amang dan Ricardo Gelael dengan dakwaan merugikan negara hingga Rp 95,6 miliar.

Tommy berhasil lolos dari jeratan kasus tersebut dengan putusan bebas dari majelis Hakim PN Jakarta Selatan. Namun, jaksa mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung pada November 1999.

Pada 2000, majelis hakim Mahkamah Agung yang diketuai oleh Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita memvonis Tommy bersalah atas kasus korupsi tukar guling tersebut. Dia divonis hukuman penjara 18 bulan dan membayar ganti rugi Rp 30 miliar.

Tommy yang tak menerima vonis hakim, mengajukan grasi kepada Presiden Abdurrahaman Wahid (Gus Dur), namun mendapat penolakan. Tommy kemudian memilih kabur dan menjadi buronan.

Saat Tommy buron, hakim Agung Syafiuddin tewas tertembak pada 26 Juli 2001. Belakangan polisi meringkus penembak Syafiuddin yakni Mulawarman dan Noval Hadad, yang mengaku sebagai suruhan Tommy.

(Baca juga: Bocoran Paradise Papers, Ada Prabowo, Tommy, dan Mamiek Soeharto)

Tommy yang berhasil ditemukan dua bulan kemudian, didakwa menjadi dalang atas pembunuhan Syafiuddin. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang diketuai Amiruddin lantas menjatuhkan vonis 10 tahun penjara pada Juli 2002 terhadap Tommy. Hanya saja, dengan sejumlah remisi Tommy akhirnya dapat bebas pada 1 November 2006.

Pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Bivitri Susanti menilai berbagai kasus hukum Tommy akan bertentangan dengan Pasal 169 huruf p Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa syarat calon presiden dan calon wakil presiden tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih.

"Dengan syarat itu ancaman pidananya jelas di atas lima tahun, maka secara hukum tidak bisa," kata Bivitri.

Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia Yunarto Wijaya menilai rencana pengusungan Tommy sebagai capres dinilai tak akan berjalan mulus. Pelekatan nama Soeharto dalam pengusungan Tommy pun dinilai tak akan mampu mendongkrak elektabilitasnya.

"Nama besar Soeharto tidak serta-merta bisa menyulap suara secara elektoral. Yang dikagumi oleh sebagian masyarakat adalah keberhasilan pembangunannya, bukan anak-anaknya," kata Yunarto.

Menurut Yunarto, Tommy tidak belajar dari kegagalan yang dialami kakaknya, Siti Hardiyanti Rukmana alias Tutur Soeharto ketika mendirikan Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB). PKPB awalnya berencana mengusung Tutut maju sebagai capres pada Pilpres 2004.

Ketika itu, Tutut juga melekatkan nama Soeharto ketika berencana maju melalui PKPB. Hanya saja, rencana itu pupus karena PKPB hanya mendapatkan perolehan suara nasional sebesar 2,11%.

"Jadi menurut saya ini halusinasi saja mengenai kebesaran nama ayahnya dan diterjemahkan dalam sikap politik yang tidak realistis," kata Yunarto.

Menurut Yunarto, Tommy sebaiknya mengikuti jejak Siti Hediati Hariyadi alias Titiek Soeharto dalam menapaki karier politik. Berbeda dengan Tommy dan Tutut, Titiek memulai karier politiknya dari menjadi kader Golkar dengan secara perlahan.

"Ikut di fraksi, di komisi, lalu kemudian akan jadi Wakil Ketua MPR. Itu menurut saya sikap paling realistis yang bisa dilakukan oleh anak-anak Soeharto sambil membangun kekuatan yang dimiliki oleh mereka," kata Yunarto.